Senangnya bisa mudik saat lebaran bersama orangtua, suami, anak, kakak, serta keponakan. Hal yang rasanya sulit sekali bisa terjadi ini secara spontan kami siapkan sekitar satu bulan sebelum puasa 1431H ini. Kebetulan kakak yang tinggal di Kuwait pulang lebaran tahun ini. Tadinya kami berencana akan liburan ke Jogja, tapi entah mengapa saya kok kepikiran lebih baik mudik...rasanya akan lebih menyenangkan!
Desa atau dusun asli orangtua kami terletak di Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Ogan Komering Ulu, di mana mengalir Sungai Ogan, maka dari itu penduduk setempat menamakan diri mereka sebagai Orang Ogan. Ayah kami asli Dusun Tangsilontar, sementara ibu berasal dari dusun tetangganya, yaitu Sambirata. Sementara kami adik-beradik (ada 6 orang, saya nomor 5), semuanya lahir dan besar di Jakarta, namun sejak kecil kami sudah diperkenalkan dengan asal-usul kedua orangtua, sehingga ada ikatan batin yang cukup baik dengan kampung halaman mereka. Dulu, ketika masih kanak-kanak, hampir 2-3 tahun sekali kami mudik, meskipun tidak selalu bertepatan dengan lebaran. Akan tetapi semakin dewasa dan terlebih setelah berkeluarga, kami kesulitan mencari waktu yang tepat untuk bisa mudik bersama-sama. Bila dilakukan sendiri-sendiri tak akan semenyenangkan jika sepaguyuban seperti yang biasa terjadi. Saya sendiri sudah 14 tahun tak menginjakkan kaki di kedua dusun tercinta tersebut!
Singkatnya, setelah beberapa bulan yang lalu ayah kami pulang bersama 2 orang adiknya, ia berbagi cerita tentang keaslian dusun yang masih menyenangkan dan indah seperti dahulu. Alam bawah sadar saya membawa bernostalgia ke suasana mandi di Sungai Ogan yang tak terlalu dalam namun jernih dan berarus deras, 14 tahun yang lalu. Ah...membayangkannya saja saya sudah merasa segar, apalagi bila betul-betul dapat mengulang keindahan itu lagi bersama keluarga kecil dan keluarga besar saya! Usul saya untuk mudik bareng pun disambut bersemangat oleh keluarga besar. jadilah pada hari ke 2 lebaran lalu kami berkonvoi 4 mobil menuju kampung halaman.
Malam pertama ketika tiba di Tangsilontar, kami segera memutuskan untuk membersihkan diri di Sungai Ogan. Namun sayang, air sungai sedang pasang setelah hujan cukup deras malam itu...arusnya pun sangat deras, sehingga kami putuskan untuk menunda mandi di sana esok harinya. Keesokan paginya, dengan semangat dan rasa penasaran yang tinggi, kami serombongan menyerbu sungai nan cantik tersebut...Ogan! Anak-anak sangat gembira, terlebih kedua putra saya yang baru pertama kali ini merasakan serunya mandi di Sungai Ogan. Saya dan kakak-kakak pun merasakan kegirangan yang tak kalah seru...bernostalgia di sini, di sungai masa kanak-kanak kami...
Hari itu, hampir 2 jam kami mandi di Ogan yang tetap memesona. Benar kata orang-orang dusun, kalau sudah sekali mandi di sungai ini, maka kami baru betul-betul jadi orang Ogan! Suami dan anak-anak saya juga sudah 'ditasbih' sebagai bagian dari orang Ogan, karena mereka tak menolak bila diajak kembali mudik suatu saat nanti. Belum lagi keasyikan lain seperti bertemu dengan sanak saudara di sana, acara jalan-jalan ke Baturaja, wisata Sungai Musi di Palembang, dan ditutup dengan mengunjungi nenek tercinta di Kotabumi, Lampung. Tak terasa wisata mudik 5 hari tersebut berlalu dengan cepatnya. Betul-betul liburan menyenangkan yang mampu membuat pikiran dan jiwa menjadi kembali segar! Subhanallah, Alhamdulillah...terima kasih ya Allah atas kesehatan dan rezeki yang Kau berikan pada kami sekeluarga!
Malam hari setelah kembali pulang ke rumah di BSD, sebelum beranjak tidur, suami memeluk dan mengecup kening saya seraya berbisik, "Terima kasih untuk liburannya ya Sayang..." Hmm...betul-betul sudah jadi Orang Ogan rupanya dia ;-)
Friday, September 17, 2010
Sunday, August 8, 2010
Rendang untuk Sahur
Puasa sudah di ambang mata...nggak kerasa ya!
Tahun ini, Rizki dan Rayhan puasa lagi, Insyaallah. Bagi Rizki, puasa ini akan jadi yang ketiga, sementara Rayhan memasuki tahun kedua berpuasa. Semoga mereka berdua diberi kesehatan, kesabaran, dan kekuatan iman oleh Allah, S.W.T.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak berkeluarga, saya punya ritual memasak rendang untuk sahur di awal puasa. Entah kenapa, bagi saya rendang adalah menu wajib minggu pertama sahur. Alasannya sangat simpel, selain praktis, rendamg juga jadi sajian jitu pembangkit selera makan di pagi buta...apalagi di minggu awal puasa.
Alhamdulillah, Rizki dan Rayhan sekarang juga sudah mulai dapat menikmati rendang. Biasanya kalau makan dengan rendang, mereka bisa-bisanya nambah sampai 3-4 kali! Kalau sudah begitu, kelelahan dan kebosanan memasak rendang terbayar sudah melihat lahapnya anak-anak dan suami tercinta menyantapnya!
Now I'm still stuck with my rendang and the busy kitchen! It's been almost 2 hours dealing with it. Thank's to internet yang menemani saya mengawasi masakan sedari tadi. Anak-anak dan papanya pergi keluar nonton Avatar. Mama tak bisa lari jauh dari rendang pesanan mereka...but still it's worthed and paid off to make them happy on the first Ramadhan day.
Hmm...rendangnya sudah mulai masak dan sekarang sedang disantap anak-anak yang kelaparan. Rupanya mereka kehabisan tiket nonton yang jam 19.00 dan membeli untuk show berikutnya, jam 21.15. Akhirnya ketiganya memutuskan pulang dulu untuk makan malam dengan rendang yang menggoda selera...Nah, nah...sekarang Rayhan minta tambah untuk yang ketiga kalinya! Alhamdulillah, mama happy sekali...;-)
Friday, August 6, 2010
What a week-end!!!
Ini hari Sabtu, tapi saya harus bersiap-siap ke kantor...ada kerjaan foto-memfoto menunggu!
Malas??? Tentu ya...karena yang namanya akhir pekan, paling enak ya leyeh-leyeh di rumah sambil nulis sampai jam 12 siang...terus cari lunch enak, jalan-jalan, dan sebelum larut sudah ada di rumah, lalu... leyeh-leyeh lagilah...he, he,...
Sabtu ini berbeda, saya harus ke kantor yang jaraknya sekitar 10 menit saja dari rumah, tapi kok menyeret kaki keluar pintu gerbang saja perlu waktu hampir 2 jam! Suami sudah saya minta mandi dari tadi karena dia juga akan ngantor, 'lah tapi yang nyuruh ini masih asyik nulis...piye toh?
Wes 'lah...saya mandi dulu, nanti kalau ada waktu bisa disambung lagi nulisnya...
Malas? Tentu tidak...tak ada kata malas untuk menulis, hanya saja sulit mencari waktu yang pas kalau week-end... piye iki dadine????
Malas??? Tentu ya...karena yang namanya akhir pekan, paling enak ya leyeh-leyeh di rumah sambil nulis sampai jam 12 siang...terus cari lunch enak, jalan-jalan, dan sebelum larut sudah ada di rumah, lalu... leyeh-leyeh lagilah...he, he,...
Sabtu ini berbeda, saya harus ke kantor yang jaraknya sekitar 10 menit saja dari rumah, tapi kok menyeret kaki keluar pintu gerbang saja perlu waktu hampir 2 jam! Suami sudah saya minta mandi dari tadi karena dia juga akan ngantor, 'lah tapi yang nyuruh ini masih asyik nulis...piye toh?
Wes 'lah...saya mandi dulu, nanti kalau ada waktu bisa disambung lagi nulisnya...
Malas? Tentu tidak...tak ada kata malas untuk menulis, hanya saja sulit mencari waktu yang pas kalau week-end... piye iki dadine????
Monday, July 26, 2010
Pantun untuk APP
Kemarin sore, di tengah perjalanan pulang ke rumah...
- Sebuah sms masuk, berisi pantun.
- Sms berikutnya masuk berisikan pesan: "Suse tolong kau liat pantun itu. Kau perbaiki ya. Kutunggu besok pagi"
- Sms ketiga masuk lagi, dengan pesan: Judul puisinya Untuk Indonesiaku
- Saya jawab sms tersebut, demikian: Baik dok, saya resapi dulu. Besok saya kirim via e-mail.
- Jawab bos saya: Tq berat. Bisalah.
Bagimu Indonesiaku
Permata hijau bertahta, di tengah mahligai Sumatra
Zambrud Khatulistiwa, bersolek rimbunan Liana
Wahai pandita bijaksana, seru Persada Nusantara
Olahlah permata hijau, jadi berlian elok rupa
Tujuan mulia, persembahan bagi anak Indonesia
Friday, July 23, 2010
Dunia Kata-Kata
Saya menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan tulisan, baik itu menulis sendiri maupun membaca. Namun menulis memang lebih menarik bagi saya. Terjebak dalam kata-kata sangat mengasyikkan...apalagi bila harus mencari 'satu kata' yang dapat memecah kekakuan alur tulisan, sangat menantang!
Kini, saya terjebak dalam keasyikan dunia kata-kata. Pekerjaan baru di bidang PR membuat saya harus bersentuhan dengan kata-kata, mulai dari terbit fajar hingga ia tenggelam di senja hari. Bahkan, terkadang saya masih berkutat menerima tantangan kata-kata hingga dini hari, saat matahari akan terbangun dari peraduannya.
Memang mengasyikkan bila hobi akhirnya bisa menjadi pekerjaan. Ia tak hanya menghasilkan kepuasaan batin, tetapi yang terpenting dapat memenuhi pula kebutuhan lahiriah. Dinamika dunia kata-kata sangat saya rasakan dalam keseharian aktivitas kini. Kalau dulu saya hanya menjadikan menulis sebagai hobi, dan mewajibkan diri untuk menulis minimal satu kali seminggu, maka kini tak ada kompromi...tak ada hari tanpa menulis!
Bila terjebak dalam kemacetan adalah hal yang menyebalkan dan menakutkan...maka terjebak dalam kata-kata justru amat menantang dan memperkaya wawasan berpikir seseorang. Maka jebaklah saya, wahai kata-kata...dan akan kuselami makin dalam duniamu!
Saturday, July 17, 2010
Suamiku Sayang
Suamiku sayang, kenapa kok selalu mengganggu ketika aku sedang asyik menulis?
Ada-ada saja yang dikerjakannya... kadang mencubit, kadang menggelitik, atau sekedar merebahkan kepalanya di bahu saya. Pokoknya dia selalu cemburu pada keintiman saya dengan tuts-tuts komputer.
Malam ini, kami berdua saja di rumah. Anak-anak sedang seru menginap di rumah kakek-nenek mereka yang baru saja punya nintendo wii. Nah, dia mulai iseng lagi mengganggu saya yang tengah asyik menulis, bercengkrama dengan tuts-tuts laptop. Aduh...saya semakin terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi lagi. Bagaimana jadinya ini, suamiku?
Nah, dia makin tidak rela saya berlama-lama menulis. Tangannya mulai menggelitiki saya...ini tandanya sudah tidak ada lagi kompromi...harus segera berhenti menulis!
Huaaam...baiklah, saya sudahi dulu. Lagipula sudah mengantuk juga...
Suamiku yang pencemburu sudah mulai merajuk...tandanya dia juga sudah mengantuk!
Oke, oke...matikan lampunya sayang...yuk kita bobo!
Sunday, June 27, 2010
Hebohnya World Cup 2010
Amina-mina e e...
Waka-waka e...e...
Amina-mina e e... it's time to Africa!
Begitulah kurang lebih lagu World Cup yang selalu dinyanyikan anak-anak sehari-hari di minggu-minggu piala dunia berlansung. Lagu FIFA World Cup memang seru, makanya anak-anak senang sekali dan jadi heboh berat, demam World Cup!
Kacau...gara-gara World Cup jam tidur suami jadi berantakan. Walhasil, Subuh jadi sering bergeser mendekati waktu terbit matahari. Untungnya belakangan dia jadi sadar dan mulai menata diri lagi agar bisa kembali melakukan ritual Subuh di masjid.
Kehebohan belum selesai, apalagi malam ini Jerman akan berhadapan dengan Inggris, maka suami mulai grasak-grusuk sore tadi ingin menonton dengan cara yang seru. Jagoan-jagoan kecil juga ikut-ikutan heboh seperti papanya. Maka tadi setelah sholat magrib, ketiga cowok penggila bola tersebut nekat meminjam infocus projector dari sekolah untuk menonton bola versi layar lebar di rumah.
Waka-waka e...e...
Amina-mina e e... it's time to Africa!
Begitulah kurang lebih lagu World Cup yang selalu dinyanyikan anak-anak sehari-hari di minggu-minggu piala dunia berlansung. Lagu FIFA World Cup memang seru, makanya anak-anak senang sekali dan jadi heboh berat, demam World Cup!
Kacau...gara-gara World Cup jam tidur suami jadi berantakan. Walhasil, Subuh jadi sering bergeser mendekati waktu terbit matahari. Untungnya belakangan dia jadi sadar dan mulai menata diri lagi agar bisa kembali melakukan ritual Subuh di masjid.
Heboh...gara-gara World Cup, Rizki dan Rayhan jadi keranjingan main bola sepanjang waktu. Tadi pagi sehabis Subuh, mereka sudah gak sabaran ingin mengajak teman-teman satu gang untuk main bola di jalanan yang masih basah oleh embun! Kebetulan kemarin ketika menemani saya berebelanja, mereka dapat bonus boleh membeli bola edisi khusus Wold Cup 2010, jadilah semangat berbola ria makin menjadi-jadi. Siangnya, bola baru tersebut diunduh ke rumah teman saya yang menggelar hajatan, untuk beraksi di sana.
Kehebohan belum selesai, apalagi malam ini Jerman akan berhadapan dengan Inggris, maka suami mulai grasak-grusuk sore tadi ingin menonton dengan cara yang seru. Jagoan-jagoan kecil juga ikut-ikutan heboh seperti papanya. Maka tadi setelah sholat magrib, ketiga cowok penggila bola tersebut nekat meminjam infocus projector dari sekolah untuk menonton bola versi layar lebar di rumah.
Nah, sekarang mereka sedang sibuk di atas menunggu saatnya jagoan mereka, Jerman, berlaga melawan si hidung panjang, Inggris. Ruang tv disulap jadi teater dengan big screen, AC on, dan sebaskom popcorn buatan mama sudah siap dipeluk Abang Rizki untuk disantap bertiga. Betul-betul heboh...
Sementara itu, si mama, asyik menulis di bawah sambil menikmati semilir angin malam, ditemani ikan-ikan di akuarium. Hmm inilah nasib perempuan di sarang penyamun, kalau sudah ada piala dunia ya dicuekin...
"Mom...I wanna sleep with you!" Lah si Ade tau-taunya turun dan minta ditemani tidur. Ya beginilah, si mama dibutuhkan lagi kalau sudah mengantuk....
"Mama...ayoo...!!!" Si Ade mulai merajuk sambil cemberut menarik tangan mama ke kamar.
Oke...kita bobo dulu deh ya, nanti kalau jam 10 malam kebangun, mama ikutan nonton Jerman deh!!!
"Mama...ayoo...!!!" Si Ade mulai merajuk sambil cemberut menarik tangan mama ke kamar.
Monday, June 21, 2010
Yin& Yang: Sayonara to Gambatte ne!!!
Sayonara, sayonara sampai berjumpa pula (2x)
Buat apa susah, buat apa susah...Susah itu tak ada gunanya (2x)
Dua bait syair sederhana itu biasa saya nyanyikan di masa kanak-kanak dulu, ketika akan beranjak meninggalkan kelas pada saat pulang sekolah. Kini lagu itu mengalun pelan di benak saya, ketika mendekati saat-saat terakhir meninggalkan sekolah dan murid2 didik yang telah berinteraksi dengan 'Ibu Suse'nya ini selama 4 tahun ajaran. Ada rasa sedih, terutama saat mengingat betapa banyak suka-duka yang telah dilalui oleh sebagian anak yang dulunya tak bisa menulis-baca Bahasa Indonesia dengan baik, namun kini sudah mulai bisa menulis paragraf singkat 100 kata dan berpresentasi di hadapan kelas dengan cukup baik. Herannya, ada rasa lega yang luar biasa pula menyelinap di dasar hati terdalam...sangat ironis.
Rasa lega itu muncul karena saya merenung bahwa di masa mendatang mungkin akan lebih dapat menemukan keseimbangan antara lahir dan bathin, yang selama ini belum saya dapatkan seutuhnya. Saya sendiri baru mendapatkan kata kunci 'keseimbangan' itu hari ini, ketika memberikan kata-kata 'bijak' terakhir kepada murid-murid kelas 8 dan 11. Hmm...keseimbangan rupanya, Yin & Yan, yang saya perlukan untuk mencapai kemajuan dalam hidup ini, persis!
Tinggal sekarang bagaimana saya bisa memaksimalkan kondisi yang sudah seimbang lahir bathin menjadi produktif dan bermanfaat tak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Maka mengutip jargon Orang Jepang 'gambatte' saya ucapkan kata itu pada diri ini untuk menyulut semangat menjalani dunia baru yang penuh tantangan namun (diharapkan) dapat memberikan keseimbangan lebih baik. Mudah-mudahan tidak hanya dapat berlagak bijak di muka murid-murid, akan tetapi saya mampu mempertanggungjawabkan kebijakan tersebut berlaku pada diri saya sendiri.
"So jya...Sayonara meine liebe Schueler und gambatte ne....alles Guete fuer die Zukunft!" Nah kalau ini namanya kebijaksanaan gado-gado Jepang-Jerman....tapi intinya saya mengucapkan selamat berpisah sekaligus menyemangati murid-murid terkasih untuk meraih masa depan yang lebih baik!
Buat apa susah, buat apa susah...Susah itu tak ada gunanya (2x)
Dua bait syair sederhana itu biasa saya nyanyikan di masa kanak-kanak dulu, ketika akan beranjak meninggalkan kelas pada saat pulang sekolah. Kini lagu itu mengalun pelan di benak saya, ketika mendekati saat-saat terakhir meninggalkan sekolah dan murid2 didik yang telah berinteraksi dengan 'Ibu Suse'nya ini selama 4 tahun ajaran. Ada rasa sedih, terutama saat mengingat betapa banyak suka-duka yang telah dilalui oleh sebagian anak yang dulunya tak bisa menulis-baca Bahasa Indonesia dengan baik, namun kini sudah mulai bisa menulis paragraf singkat 100 kata dan berpresentasi di hadapan kelas dengan cukup baik. Herannya, ada rasa lega yang luar biasa pula menyelinap di dasar hati terdalam...sangat ironis.
Rasa lega itu muncul karena saya merenung bahwa di masa mendatang mungkin akan lebih dapat menemukan keseimbangan antara lahir dan bathin, yang selama ini belum saya dapatkan seutuhnya. Saya sendiri baru mendapatkan kata kunci 'keseimbangan' itu hari ini, ketika memberikan kata-kata 'bijak' terakhir kepada murid-murid kelas 8 dan 11. Hmm...keseimbangan rupanya, Yin & Yan, yang saya perlukan untuk mencapai kemajuan dalam hidup ini, persis!
Tinggal sekarang bagaimana saya bisa memaksimalkan kondisi yang sudah seimbang lahir bathin menjadi produktif dan bermanfaat tak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Maka mengutip jargon Orang Jepang 'gambatte' saya ucapkan kata itu pada diri ini untuk menyulut semangat menjalani dunia baru yang penuh tantangan namun (diharapkan) dapat memberikan keseimbangan lebih baik. Mudah-mudahan tidak hanya dapat berlagak bijak di muka murid-murid, akan tetapi saya mampu mempertanggungjawabkan kebijakan tersebut berlaku pada diri saya sendiri.
"So jya...Sayonara meine liebe Schueler und gambatte ne....alles Guete fuer die Zukunft!" Nah kalau ini namanya kebijaksanaan gado-gado Jepang-Jerman....tapi intinya saya mengucapkan selamat berpisah sekaligus menyemangati murid-murid terkasih untuk meraih masa depan yang lebih baik!
Friday, June 18, 2010
Bersyukur
Pagi ini, Sabtu, 19 Juni 2010, saya duduk di kursi meja makan kami yang sederhana, menikmati secangkir kopi, sambil bercengkarama dengan tuts-tust keyboard laptop kantor. Semetara itu, di kursi ujung meja makan, Rayhan, bungsu kami, juga tengah asyik mengutak-ngatik laptop saya. Hmm...saya sangat menikmati suasana pagi ini. Subhanallah...nikmatnya hidup ini, di tengah keluarga terkasih dan alam sekitar rumah sederhana kami yang masih terbilang hijau dan alami. Kembali semilir angin sejuk pagi mengalir masuk ke dalam rumah, lalu ia berputar ke luar untuk memberikan kesempatan bagi temannya untuk bersirkulasi di rumah kami yang berjendela banyak. Saya menarik nafas panjang, tak ingin menyia-nyiakan berkah Allah yang tak ternilai harganya tersebut... Ahh...kesegaran langsung merasupi rongga dada saya, Alhamdulillah.
Saya kemudian berpikir, betapa kita wajib bersyukur atas segala yang didapat, mulai dari hal-hal kecil yang tampak sepele. Kembali saya teguk kopi yang mulai dingin sambil melirik suami yang duduk menggantikan Rayhan di ujung meja makan. Ia begitu ganteng dengan baju batiknya...juga begitu wangi oleh parfumnya yang dihembus-hembus semilir angin sejuk. Dia sudah mandi dan baru saja pulang dari kondangan akad nikah seorang kerabat, sementara saya masih berbalut baju tidur dan berminyak-minyak...tapi betapa bersyukurnya saya karena dia tetap tak sungkan berdekatan dengan saya dalam kondisi ini. Hmm...lagi-lagi bersyukur akan hal sederhana, baru saja saya lakukan.
Angin pagi masih terus berhembus, semilir mengalir ke rumah, keluar menggoda pohon pisang hias kami di halaman belakang hingga membuatnya menari-nari kegirangan...ah indahnya pemandangan itu. Hmm, bau pewangi lantai baru saja melintasi hidung saya...Si Mpok rupanya dengan ember berisi air berpewangi lantai. Kehadiran Mpok meskipun tak full time di rumah kami juga merupakan berkah bagi keluarga saya. Lumayan, di Sabtu pagi saya bisa bersantai sejenak sambil menulis, karena ada Si Mpok yang membantu mengurusi rumah. Alhamdulillah...kembali saya bersyukur.
Pohon pisang hias kami melambai-lambai digoda sang angin pagi. Saya menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengakhiri renungan pagi ini, karena merasa sudah pliket ingin segera mandi. Suami saya berpindah duduk di hadapan saya, kakinya berselonjor santai, mulutnya asyik mengunyah kerupuk warung yang dibeli Rizki, sulung kami, tadi malam ketika saya dan dia kelaparan namun tak punya pilihan lain selain makan 2 bungkus indomie yang masih tersimpan rapi di lemari stok makanan kami. Alhamdulillah masih ada indomie...Wah, bahkan indomie yang tak sehat bila dikonsumsi terlalu sering pun, bisa jadi media untuk bersyukur ;-)
Alhamdulillah...akhirnya saya bisa mengakhiri tulisan ini, karena biasanya kalau sudah banyak ide, tangan saya sulit sekali diajak untuk meninggalkan teman-teman tutsnya yang selalu menggoda....
Sunday, May 30, 2010
Welcome Back my New Job!
Welcome back my new job...ha..ha..ini cukup aneh didengar tentunya. Menyambut kembali pekerjaan baru...loh kok? Aneh tapi nyata, demikianlah yang akan terjadi pada saya dalam dua bulan ke depan nanti. Per Juli 2010, saya akan kembali menggeluti dunia PR, profesi yang pernah saya tekuni 11 tahun yang lalu. Transformasi seorang ibu guru menjadi PR tentunya mencengangkan bagi kolega saya di sekolah...karena mereka tak tahu bahwa dulunya saya adalah seorang Public Relation.
Meskipun dunia PR tidak asing bagi saya, namun tetap rasa deg-degan ada di hati. Mampukah saya eksis seperti 11 tahun yang lalu, saat masih single dan punya totalitas kerja tinggi? Insyaallah harus mampu dan selalu menyalakan semangat di dada. Ikhtiar dan semangat itulah kuncinya. Maka dengan membaca Basmallah, saya nawaitu untuk kembali menggeluti dunia baru nan lawas ini. So I say it once more: welcome back my new job ;-)
Saturday, March 20, 2010
Jangan menganggap remeh makna di balik sebuah warna! Pernah dengar larangan memakai warna hijau, merah, atau kuning ketika akan berwisata ke Pantai Selatan dan wilayah berbau mistik ratu penguasa bawah laut? Sebagai orang yang merasa sangat percaya pada takdir, saya tak terlalu mengindahkan larangan-larangan serupa, karena toh maut, kelahiran, dan jodoh ada di tangan Tuhan.
Namun bila kita perhatikan, di luar konteks kemistikan, beberapa warna memang dapat mewakili perasaan-perasaan atau menjadi simbol hal-hal tertentu. Sebutlah putih yang mewakili sesuatu yanng suci, bersih, polos, dan segala hal baik. Bagaimana dengan hitam? Tentunya simbol negatif diwakili oleh warna kelam ini. Hitam juga mewakili kepedihan, kematian, keterpurukan perasaan seseorang. Sementara warna kuning mewakili keceriaan, semangat, namun di satu sisi ia dipakai sebagai simbol bendera penanda kematian. Unik memang, namun demikianlah kenyataannya... satu warna dapat mewakili sejuta makna!
Pengalaman bermasalah dengan warna saya dapatkan bersama rombongan ketika berkunjung ke Bangkok baru-baru ini. Ceritanya kami mendapat kaus seragam berwarna merah menyala dari pihak sponsor. Warna merah dipilih karena merupakan simbol produk yang mensponsori kami, selain mungkin juga mewakili semangat para peserta wisata. Namun makna warna penyimbol semangat tersebut menjadi berubah ketika kami menginjakkan kaki di Bangkok. Ternyata warna merah justru menimbulkan masalah besar di negeri Siam tersebut!
Setiap melintasi jalan, pasti ada saja yang memerhatikan kami penuh tatap curiga, bahkan seorang ibu yang berpapasan dengan rombongan ketika keluar dari stasiun MRT dengan spontan menyetop seorang teman saya dan bertanya hendak ke mana kami pergi. Begitu juga ketika kami akan memasuki obyek wisata, para petugas dengan tangkas menyetop rombongan dan bertanya apakah kami ini simpatisan partai demokrat. Untungnya pemandu wisata segera menjelaskan bahwa kami adalah rombongan turis dari Indonesia, sehingga baik si Ibu maupun petugas segera melemparkan senyum mereka. Selidik punya selidik ternyata warna merah telah dilarang keras untuk digunakan di Bangkok belakangan ini. Merah adalah warna yang menjadi simbol partai demokrat pendukung mantan PM Taksin yang belum lama ini dilengserkan. Memang betul, setelah saya perhatikan dengan seksama, tak ada seorang pun yang saya temui di jalan memakai baju atau atribut apa pun berwarna merah. Betapa hebatnya kesetiaan rakyat Thailand kepada raja mereka, sehingga bersinggungan dengan warna merah pun mereka enggan.
Demikianlah kekuatan makna sebuah warna yang telah dapat mengubah wajah sebuah bangsa. Hmm...bagaimana fenomena warna yang mewakili situasi politik bangsa Indonesia belakangan ini? Kira-kira apakah setelah kasus century warna merah dan kuning akan menjauhi si biru? Yang jelas tadi pagi saya baca di surat kabar, si merah kelihatannya memilih bermitra dengan si biru, namun tetap berusaha untuk berada di area abu-abu! Ah...ternyata tidak hanya indah, namun warna-warna juga begitu mempesona dan bergejolak jika dibawa ke ranah-ranah tertentu. Saya jadi teringat lagu Sheila Madjid dan ingin bersenandung, "Oh warna-warna bagai bicara, kuterpesona, kau teristimewa..."
Tuesday, March 16, 2010
Day 3: Heading Back to Indonesia
Usai sudah perjalanan wisata, kuliner, dan budaya para ABC Ibu Juara 2010 beserta keluarga di Bangkok. Banyak hal kami petik dari pengalaman berkunjung dan mengamati perkembangan negara sahabat ASEAN kita ini. Negeri Seribu Pagoda, Gajah Putih, dan Surga Kuliner, demikianlah berbagai label yang menempel pada Thailand. Rasanya label-label tersebut memang pantas disandang oleh Negeri Siam, berkat usaha keras dan sungguh-sungguh raja, pemerintah, dan rakyatnya dalam membangun negara mereka.
Ucapan terima kasih tak terhingga kami haturkan kepada PT. Heinz Indonesia dengan Kecap ABC-nya yang menjadi inspirasi memasak kaum Ibu Indonesia. Tak ketinggalan big thanks to Pak Kahfi dari ABC, Pak Rangga, Mbak Yeye, Pak Albar, dan Pak Meng yang telah begitu sabar dan telaten 'menjaga' kami selama program berlangsung. Terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada Chef Haryo dan Mas Rudy yang sudah menularkan ilmu memasak pada kami. Semoga Anda semua diberi kesehatan dan kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penerbangan ke Jakarta dibagi menjadi 2 kloter, namun kami kembali bertemu di Changi Airport-Singapur untuk transit dan melanjutkan perjalanan dengan Garuda sampai ke Jakarta. Sampai di Jakarta, para peserta berpisah dan berjanji akan terus menjalin tali silaturahmi. Kami bahkan sudah mengangkat Ibu Netty sebagai ketua ikatan ABC Ibu Juara 2010 dan mengatur agenda jalan-jalan di masa mendatang kembali dengan tim ABC ;-) Sejumlah negara sudah ada dalam daftar tujuan kami: Jepang, Itali, Perancis, dan Korea Selatan! Nah...tinggal mencari sponsornya saja...moga-moga ada yang berminat, bagaimana Pak Kahfi???
Ucapan terima kasih tak terhingga kami haturkan kepada PT. Heinz Indonesia dengan Kecap ABC-nya yang menjadi inspirasi memasak kaum Ibu Indonesia. Tak ketinggalan big thanks to Pak Kahfi dari ABC, Pak Rangga, Mbak Yeye, Pak Albar, dan Pak Meng yang telah begitu sabar dan telaten 'menjaga' kami selama program berlangsung. Terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada Chef Haryo dan Mas Rudy yang sudah menularkan ilmu memasak pada kami. Semoga Anda semua diberi kesehatan dan kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penerbangan ke Jakarta dibagi menjadi 2 kloter, namun kami kembali bertemu di Changi Airport-Singapur untuk transit dan melanjutkan perjalanan dengan Garuda sampai ke Jakarta. Sampai di Jakarta, para peserta berpisah dan berjanji akan terus menjalin tali silaturahmi. Kami bahkan sudah mengangkat Ibu Netty sebagai ketua ikatan ABC Ibu Juara 2010 dan mengatur agenda jalan-jalan di masa mendatang kembali dengan tim ABC ;-) Sejumlah negara sudah ada dalam daftar tujuan kami: Jepang, Itali, Perancis, dan Korea Selatan! Nah...tinggal mencari sponsornya saja...moga-moga ada yang berminat, bagaimana Pak Kahfi???
Day 2: The Spectacular Siam Niramit
Turun dari Tuk Tuk di depan gedung pertunjukan Siam Niramit kami segera disambut oleh seorang gadis cantik berpakaian tradisional Thailand. Sepucuk korsase anggrek ungu disematkannya pada dada kami sebagai tanda selamat datang di tempat pertunjukan tari tradisional Thailand tersebut. Setelah berfoto dengan si gadis, kami pun memasuki gedung megah berasitektur setempat itu. Rupanya rombongan segera diajak naik ke lantai dua untuk menikmati makan malam prasmanan di restoran yang menyatu dengan gedung teater Siam Niramit.
Puas bersantap, sesuai dengan arahan Pak Meng, kami segera menuju gedung teater untuk menonton show pukul 19.45. Sebelum masuk, kami diminta menitipkan kamera maupun handphone di locker, karena pertunjukan tak boleh diabadikan oleh penonton. Semua penasaran ingin segera mengetahui apa sebenarnya yang akan dipertunjukkan di dalam, karena kabarnya Siam Niramit adalah show terbaik di dunia, lagi-lagi menurut Guiness Book of Records. Maka masuklah kami dengan bersemangat bersama ratusan turis mancanegara lainnya.
Saya duduk berdampingan dengan Rizki dan mendapat tempat di sayap kiri panggung. Teater tersebut memang sangat besar karena dapat menampung setidaknya lebih dari 1000 penonton. Kursi penonton dirancang senyaman mungkin, sehingga dapat membentuk posisi tubuh dengan rileks. Ruangan didominasi warna maron dan hitam dengan pusatnya sebuah panggung besar memanjang sepanjang deretan kursi penonton dari sayap kiri ke kanan. Panggung masih tertutup tirai hitam ketika penonton mulai mengatur posisi duduk mereka dengan bantuan petugas berseragam baju Siam.
Pukul 19.45, lampu mulai dimatikan bersamaan dengan diturunkannya sebuah layar putih di tengah panggung. Beberapa baris tulisan dalam berbagai bahasa terpampang di layar putih sebagai terjemahan kisah sang seorang narator yang bertutur dalam dalam bahasa Inggris, menjelaskan tentang latar belakang pertunjukan Siam Niramit. Setelah sang narator selesai bertutur, pada layar terputar film dokumenter tentang Raja Siam dan kehidupan masyarakatnya, dengan back sound lagu kebangsaan Thailand. Hadirin diminta berdiri hingga lagu selesai dikumandangkan. Saya langsung bertanya-tanya dalam hati, kira-kira pertunjukan macam apa yang akan disuguhkan di gedung semegah ini? Bukannya apa-apa, ritualnya terasa sangat sakral dan kental akan nuansa pengkultusan sang raja, bahkan turis pun diminta ikut memberikan penghormatan kepada beliau sebelum menonton pentas malam ini. Saya teringat era sebelum reformasi di tanah air jadinya...
Akhirnya setelah cukup lama berdiri, kami pun dipersilakan duduk. Kembali sang narator memberikan prolog cerita sebagai intermezo...kemudian layar pun terkebang! Penonton langsung terpukau oleh tata panggung nan megah di depan mata! Serombongan penari kemudian muncul dengan keanggunannya dari berbagai penjuru panggung. Setting awal adalah suasana penyambutan raja dan permaisuri yang gegap gempita. Raja Siam memang sangat dicintai rakyatnya sehingga mendapat penghormatan yang demikian besarnya. Tak lama kemudian kami dikejutkan dengan kehadiran gajah di antara undakan gang antartempat duduk penonton. Semua pengisi acara tumpah ruah menari dan berinteraksi dengan penonton...sungguh sebuah awal yang sangat menarik hati.
Secara keseluruhan, Siam Niramit mengisahkan tentang sejarah kerajaan Siam hingga akhirnya berdiri negara Thailand yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis dan latar belakang sosial. Menariknya pertunjukkan ini dapat dikemas sedemikian rupa hingga menjadi tontonan seni tradisional yang sangat elegan dan tidak membosankan. Bayangkan, bagaimana penonton tak dibuat terpukau apabila panggung dapat berubah setting dalam hitungan detik. Dan tak tanggung-tanggung setting yang ditampilkan mempunyai tingkat kesulitan dan artistik yang sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, ketika kami tengah dibuai dengan setting istana, tiba-tiba panggung berganti dengan setting pesisir pantai lengkap dengan perahu bercadik melintas di atas 'laut', atau ketika segmen pedesaan, dalam hitungan detik sebuah sungai lengkap dengan perahu sampan yang tengah ditumpangi seorang biksu sudah ada di atas panggung. Tak lama berselang, turun hujan yang mengubah hamparan padi hijau menjadi menguning dan siap dipanen. Belum lagi setting surga yang luar biasa indahnya dilengkapi dengan bidadari melayang-layang di awang-awang. Tak ada kata lain yang terucap kecuali 'Spektakuler'!
Harusnya kita belajar dari Thailand dalam mengemas pariwisata dan budaya Indonesia yang tak kalah indah dan menariknya dari yang mereka miliki. Thailand tak tanggung-tanggung mengeluarkan modal besar demi menunjang sektor pariwisata mereka. Tampilan panggung Siam Niramit yang berteknologi tinggi dan sangat spektakuler tentunya disokong oleh dana yang tak sedikit. Akan tetapi saya yakin sekali hasil yang didapat sebagai devisa negara tak akan pernah berhenti mengalir dari pertunjukan berharga sekitar 700 Bath ini. Mungkin mereka yang seangkatan dengan saya ingat akan pertunjukan tari dan nyayi Swara Mahardhika garapan Guruh Soekarno Putra? Mengapa pemerintah tak mengembangkannya menjadi paket pertunjukan tradisional spektakuler layaknya Siam Niramit? Saya yakin bila digarap dengan sungguh-sungguh dan konsisten, seni budaya kita mempunyai keindahan yang lebih daripada tarian dan budaya Siam.
Usai pertunjukan, kami keluar dengan hati gembira sekaligus miris... Gembira karena terhibur oleh tarian dan tata panggung yang mengagumkan, sementara miris karena kembali melihat kenyataan betapa jauhnya kita tertinggal dari negeri Siam ini!
Puas bersantap, sesuai dengan arahan Pak Meng, kami segera menuju gedung teater untuk menonton show pukul 19.45. Sebelum masuk, kami diminta menitipkan kamera maupun handphone di locker, karena pertunjukan tak boleh diabadikan oleh penonton. Semua penasaran ingin segera mengetahui apa sebenarnya yang akan dipertunjukkan di dalam, karena kabarnya Siam Niramit adalah show terbaik di dunia, lagi-lagi menurut Guiness Book of Records. Maka masuklah kami dengan bersemangat bersama ratusan turis mancanegara lainnya.
Saya duduk berdampingan dengan Rizki dan mendapat tempat di sayap kiri panggung. Teater tersebut memang sangat besar karena dapat menampung setidaknya lebih dari 1000 penonton. Kursi penonton dirancang senyaman mungkin, sehingga dapat membentuk posisi tubuh dengan rileks. Ruangan didominasi warna maron dan hitam dengan pusatnya sebuah panggung besar memanjang sepanjang deretan kursi penonton dari sayap kiri ke kanan. Panggung masih tertutup tirai hitam ketika penonton mulai mengatur posisi duduk mereka dengan bantuan petugas berseragam baju Siam.
Pukul 19.45, lampu mulai dimatikan bersamaan dengan diturunkannya sebuah layar putih di tengah panggung. Beberapa baris tulisan dalam berbagai bahasa terpampang di layar putih sebagai terjemahan kisah sang seorang narator yang bertutur dalam dalam bahasa Inggris, menjelaskan tentang latar belakang pertunjukan Siam Niramit. Setelah sang narator selesai bertutur, pada layar terputar film dokumenter tentang Raja Siam dan kehidupan masyarakatnya, dengan back sound lagu kebangsaan Thailand. Hadirin diminta berdiri hingga lagu selesai dikumandangkan. Saya langsung bertanya-tanya dalam hati, kira-kira pertunjukan macam apa yang akan disuguhkan di gedung semegah ini? Bukannya apa-apa, ritualnya terasa sangat sakral dan kental akan nuansa pengkultusan sang raja, bahkan turis pun diminta ikut memberikan penghormatan kepada beliau sebelum menonton pentas malam ini. Saya teringat era sebelum reformasi di tanah air jadinya...
Akhirnya setelah cukup lama berdiri, kami pun dipersilakan duduk. Kembali sang narator memberikan prolog cerita sebagai intermezo...kemudian layar pun terkebang! Penonton langsung terpukau oleh tata panggung nan megah di depan mata! Serombongan penari kemudian muncul dengan keanggunannya dari berbagai penjuru panggung. Setting awal adalah suasana penyambutan raja dan permaisuri yang gegap gempita. Raja Siam memang sangat dicintai rakyatnya sehingga mendapat penghormatan yang demikian besarnya. Tak lama kemudian kami dikejutkan dengan kehadiran gajah di antara undakan gang antartempat duduk penonton. Semua pengisi acara tumpah ruah menari dan berinteraksi dengan penonton...sungguh sebuah awal yang sangat menarik hati.
Secara keseluruhan, Siam Niramit mengisahkan tentang sejarah kerajaan Siam hingga akhirnya berdiri negara Thailand yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis dan latar belakang sosial. Menariknya pertunjukkan ini dapat dikemas sedemikian rupa hingga menjadi tontonan seni tradisional yang sangat elegan dan tidak membosankan. Bayangkan, bagaimana penonton tak dibuat terpukau apabila panggung dapat berubah setting dalam hitungan detik. Dan tak tanggung-tanggung setting yang ditampilkan mempunyai tingkat kesulitan dan artistik yang sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, ketika kami tengah dibuai dengan setting istana, tiba-tiba panggung berganti dengan setting pesisir pantai lengkap dengan perahu bercadik melintas di atas 'laut', atau ketika segmen pedesaan, dalam hitungan detik sebuah sungai lengkap dengan perahu sampan yang tengah ditumpangi seorang biksu sudah ada di atas panggung. Tak lama berselang, turun hujan yang mengubah hamparan padi hijau menjadi menguning dan siap dipanen. Belum lagi setting surga yang luar biasa indahnya dilengkapi dengan bidadari melayang-layang di awang-awang. Tak ada kata lain yang terucap kecuali 'Spektakuler'!
Harusnya kita belajar dari Thailand dalam mengemas pariwisata dan budaya Indonesia yang tak kalah indah dan menariknya dari yang mereka miliki. Thailand tak tanggung-tanggung mengeluarkan modal besar demi menunjang sektor pariwisata mereka. Tampilan panggung Siam Niramit yang berteknologi tinggi dan sangat spektakuler tentunya disokong oleh dana yang tak sedikit. Akan tetapi saya yakin sekali hasil yang didapat sebagai devisa negara tak akan pernah berhenti mengalir dari pertunjukan berharga sekitar 700 Bath ini. Mungkin mereka yang seangkatan dengan saya ingat akan pertunjukan tari dan nyayi Swara Mahardhika garapan Guruh Soekarno Putra? Mengapa pemerintah tak mengembangkannya menjadi paket pertunjukan tradisional spektakuler layaknya Siam Niramit? Saya yakin bila digarap dengan sungguh-sungguh dan konsisten, seni budaya kita mempunyai keindahan yang lebih daripada tarian dan budaya Siam.
Usai pertunjukan, kami keluar dengan hati gembira sekaligus miris... Gembira karena terhibur oleh tarian dan tata panggung yang mengagumkan, sementara miris karena kembali melihat kenyataan betapa jauhnya kita tertinggal dari negeri Siam ini!
Sunday, March 14, 2010
Day 2: MRT Trip and Tuk Tuk Riding
Jadwal berikutnya setelah Chatuchak adalah mencoba naik MRT kota Bangkok. Hmm...hebat sekali mereka sudah memiliki MRT yang menghubungkan titik-titik kota sehingga lebih mudah dan cepat dijangkau. Kami naik MRT dari stasiun bawah tanah tak jauh dari pasar Chatuchak. Pak Meng membelikan koin plastik untuk kami semua (saya lupa menanyakan berapa harganya). Terus terang saya salut sekali akan kepesatan pembangunan di Bangkok ini, lantas teringat akan proyek MRT di Jakarta yang mati suri...kembali saya mengurut dada untuk kedua kalinya melihat kenyataan bahwa kita tertinggal cukup jauh!
Perjalanan singkat dengan MRT memberikan gambaran sekilas tentang masyarakat kota Bangkok yang terlihat sudah sangat sadar akan pentingnya menjaga kebersihan, ketertiban, dan kenyamanan sarana umum. Setiap orang tertib memasuki MRT, tak ada yang berebut. Selain itu tak terlihat satu pun coretan, sampah, juga infrastruktur rusak atau hilang dicuri di dalam MRT maupun di stasiun (bandingkan dengan kereta-kereta KRL kita yang kotor berdebu, bau pengap bahkan pesing, serta sudah kehilangan banyak sekali sabuk pegangan tangan karena dicuri). Betul-betul sebuah negara yang tengah menuju ke arah modern, baik mental manusianya maupun infrastrukturnya. Bila tak salah ingat, kami turun di stasiun keempat dari tempat kami naik tadi. Rizki dan Salim terlihat begitu bersemangat menikmati perjalanan naik MRT senja itu. Berikutnya kami dituntun Pak Meng keluar dari stsiun bawah tanah menuju ke luar untuk segera menaiki Tuk Tuk. Tujuan berikutnya adalah gedung pertunjukan Siam Niramit. Beberapa buah Tu Tuk sudah dipesan Pak Meng untuk membawa kami konvoi menuju tempat tontonan yang katanya spektakuler tersebut. Kembali kami berkjejaran dengan waktu, karena pertunjukan akan mulai pukul 19.45 sementara sebelumnya kami harus makan malam terlebih dahulu.
Tuk Tuk yang begitu terkenal memang mempunyai bentuk yang unik. Kendaraan beroda tiga ini mirip dengan bajaj, namun agak sedikit panjang, dan terbuka (tanpa pintu). Tuk Tuk yang rupanya disebut juga dengan taxi -karena pada bagian atap depannya tertera tulisan "TAXI" - telah menjadi kendaraan khas Bangkok. Inilah hebatnya Thailand! Tuk tuk pun dijadikan salah satu pesona pariwisata yang membuat penasaran para wisatawan asing, tidak seperti nasib bajaj yang semakin hari semakin punah di jalan-jalan Jakarta. Berbeda kondisi bajaj yang selalu terusir di jalan-jalan protokol, Tuk Tuk bahkan dapat melenggang bebas berdampingan dengan kendaraan bermotor lainnya di kota Bangkok. Ia dapat melaju kencang layaknya mobil dan tak menimbulkan suara bising layaknya bajaj.
Saking ngebutnya, Mbak Yeye sampai sport jantung dan berteriak, "Aduh...gue masih kepingin mantu nih, gak mau mati ngebut begini!". Teriakannya tak diindahkan oleh sang supir karena ia tak mengerti sepatahpun bahasa Indonesia...so mungkin disangkanya si penumpang kegirangan dan ingin supaya lebih ngebut lagi. Semakin keras teriakan penumpang semakin mantap si supir menancap gasnya...kalau begitu, pegangan yang kuat... "Tarrrrik Mang!!!"
Saturday, March 13, 2010
Day 2: Shop 'till you drop at Chatuchak Weekend Market
Baru saja selesai mendapat ilmu memasak sekaligus mengisi perut sepagian hingga siang hari itu, kami segera bertolak ke Chatuchak Weekend Market, untuk apa lagi kalau bukan berbelanja! Bu Rosita yang paling bersemangat tentunya memulai program shopping part 2 ini! Setibanya di sana, kami diberi kesempatan 1,5 jam untuk memuaskan hasrat belanja di area pasar yang cukup luas tersebut. Bayangkan 1,5 jam untuk mengelilingi pasar seluas itu tentulah tak cukup...kami sangat berkejaran dengan waktu!
(picture taken from www.bangkok-aktuel.de)
Chatuchak Market kalau diperhatikan rasanya sangat mirip dengan area pedagang kaki lima di di pasar Blok-M. Pasar tenda tersebut berdiri berdampingan dengan JJ Mal dan hanya digelar setiap hari Sabtu dan Minggu. Sisa uang Bath masih ada untuk berbelanja oleh-oleh, namun lagi-lagi saya merasa tidak bebas melihat-lihat karena harus memperhatikan Rizki juga. Tadinya saya bersama Mas Albar dan Mas Rudy melihat-lihat di area tenda, namun akhirnya kami memutuskan masuk ke mal saja, karena di luar panasnya sangat menyengat...lagipula Rizki mulai gelisah. Mal JJ sendiri persis seperti ITC Mangga Dua, namun lebih kecil saja. Harga-harna di dalam mal dan di tenda tak banyak berselisih, tapi soal kenyamanan tentunya kami lebih memilih yang berAC. Di sini saya akhirnya menemukan kain sutra Thailand dengan harga 280 Bath/m! Segera saya beli 3,5m sesuai pesanan teman saya.
Setelah mondar-mandir di mal, toh saya masih kebingungan juga mau membeli oleh-oleh apa...untungnya kemudian bertemu Mbak Yeye dan Bu Murni, jadi bisa mencontek belanjaan mereka! Bertiga kami memutuskan untuk hunting keripik durian, pesanan teman saya. Minta ampun sulitnya mencari panganan yang satu itu. Akhirnya kami berhasil menemukannya atas bantuan seorang pedagang yang dapat berbahasa Inggris cukup baik. Wah, ternyata harganya cukup mahal...mungkin karena tingkat pengolahannya yang sulit. Mbak Yeye dan Bu Murni juga ikut membeli beberapa kantong sebagai oleh-oleh.
Waktu menunjukkan pukul 18.00, kami sudah terlambat 30 menit dan dalam keadaan panik karena mencari Rizki dan Alim yang menghilang dari kios game komputer. Rupanya Pak Rangga yang sudah membawa mereka kembali ke bus...syukurlah, saya dan Bu Murni sangat lega. Di bus Pak Meng sudah betul-betul geram...karena menunggu peserta yang tak tepat waktu. (termasuk kami bertiga)! Untung nasib kami masih baik, belum tertinggal rombongan. Ketika sudah lewat dari 45 menit, batas toleransi menunggu sudah lewat...kasihan Bu Rosita dan Pak Baihaqi yang terpaksa kami tinggal. Mas Albar tinggal untuk membantu mencari mereka di Chatuchak Market yang luas...mungkin keduanya 'tersesat' lagi dan memutuskan untuk shop 'till they drop di sana!
(picture taken from www.bangkok-aktuel.de)
Chatuchak Market kalau diperhatikan rasanya sangat mirip dengan area pedagang kaki lima di di pasar Blok-M. Pasar tenda tersebut berdiri berdampingan dengan JJ Mal dan hanya digelar setiap hari Sabtu dan Minggu. Sisa uang Bath masih ada untuk berbelanja oleh-oleh, namun lagi-lagi saya merasa tidak bebas melihat-lihat karena harus memperhatikan Rizki juga. Tadinya saya bersama Mas Albar dan Mas Rudy melihat-lihat di area tenda, namun akhirnya kami memutuskan masuk ke mal saja, karena di luar panasnya sangat menyengat...lagipula Rizki mulai gelisah. Mal JJ sendiri persis seperti ITC Mangga Dua, namun lebih kecil saja. Harga-harna di dalam mal dan di tenda tak banyak berselisih, tapi soal kenyamanan tentunya kami lebih memilih yang berAC. Di sini saya akhirnya menemukan kain sutra Thailand dengan harga 280 Bath/m! Segera saya beli 3,5m sesuai pesanan teman saya.
Setelah mondar-mandir di mal, toh saya masih kebingungan juga mau membeli oleh-oleh apa...untungnya kemudian bertemu Mbak Yeye dan Bu Murni, jadi bisa mencontek belanjaan mereka! Bertiga kami memutuskan untuk hunting keripik durian, pesanan teman saya. Minta ampun sulitnya mencari panganan yang satu itu. Akhirnya kami berhasil menemukannya atas bantuan seorang pedagang yang dapat berbahasa Inggris cukup baik. Wah, ternyata harganya cukup mahal...mungkin karena tingkat pengolahannya yang sulit. Mbak Yeye dan Bu Murni juga ikut membeli beberapa kantong sebagai oleh-oleh.
Waktu menunjukkan pukul 18.00, kami sudah terlambat 30 menit dan dalam keadaan panik karena mencari Rizki dan Alim yang menghilang dari kios game komputer. Rupanya Pak Rangga yang sudah membawa mereka kembali ke bus...syukurlah, saya dan Bu Murni sangat lega. Di bus Pak Meng sudah betul-betul geram...karena menunggu peserta yang tak tepat waktu. (termasuk kami bertiga)! Untung nasib kami masih baik, belum tertinggal rombongan. Ketika sudah lewat dari 45 menit, batas toleransi menunggu sudah lewat...kasihan Bu Rosita dan Pak Baihaqi yang terpaksa kami tinggal. Mas Albar tinggal untuk membantu mencari mereka di Chatuchak Market yang luas...mungkin keduanya 'tersesat' lagi dan memutuskan untuk shop 'till they drop di sana!
Wednesday, March 10, 2010
Day 2: Our Highlight Program 'Cooking Class' @ Blue Elephant Restaurant
Saya pernah melihat program memasak berlokasi di Blue Elephant Restaurant Bangkok di saluran Discovery & Travel. Siapa nyana bila akhirnya saya sediri dan teman-teman seperjuangan ABC Ibu Juara bisa mengalami langsung kursus memasak di restauran bertaraf dunia tersebut. Kami disambut oleh Chef Sandra, putri pemilik restaurant, yang fasih berbahasa Thai, Inggris, dan Belanda. Ibunya, Chef Noor, adalah wanita asal Malaysia dan ayahnya seorang berkebangsaan Belanda. Mereka telah menetap di Thailand dan memiliki Blue Elephant Restaurat di kota Bangkok dan wilayah pantai Pattaya. Chef andalan kami, Chef Haryo, akan ikut memberikan pelajaran memasak bagi para ABC moms beserta suami dan anak yang mendampingi.
Sesi pertama adalah pelajaran memasak makanan Thailand. Chef Sandra yang mengajar dengan asistensi Chef Haryo. Wanita itu hanya sempat mengajarkan satu resep karena harus segera menuju Pattaya untuk pembukaan restoran baru mereka di sana. Chef berikutnya (lupa namanya) melanjutkan dengan 3 jenis masakan. Chef laki-laki tersebut sangat telaten dan rapi dalam mengolah masakaannya, serapi polesan foundation, bedak, dan lip gloss terakota yang tertata harmonis di wajahnya yang licin. Menurut Mbak Yeye, semut pun akan tergelincir bila mencoba berjalan di kulit wajah sang chef. Kontras sekali gayanya dengan Chef Haryo yang sigap dan berjiwa petualang alam. Chef Haryo kemudian mengisi sesi kedua dengan 4 resep modifikasi masakan Indonesia bernuansa sentuhan rasa Thailand. Seorang asisten chef Blue Elephant bertubuh moleg khas koki dalam dongeng kerajaan, membantu Chef Haryo. Kehadirannya sangat menggemaskan dan menyita perhatian kami!
Program kursus memasak tersebut berdurasi sekitar 4 jam. Setiap satu masakan selesai diajarkan oleh Chef Blue Elephant, para ibu dan pasangan harus mempraktekkannya di dapur uji. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan bagi Rizki dan anak-anak lainnya yang mendapingi sang ibu. Ternyata kami jadi tahu bahwa rahasia kekhasan masakan Thailand adalah akar ketumbar dan lada segar yang tumbuh subur di negeri itu yang mereka selalu pakai hampir dalam setiap masakan. Sesungguhnya masakan Indonesia tak kalah kelezatannya, hanya saja kita harus belajar dari negeri Siam ini bagaimana mengemas dan mengiklankan kekhasan masakan tanah air hingga dapat mendunia, seperti milik mereka!
Selesai kelas memasak, kami semua mendapat kehormatan dari Blue Elephangt dan ABC untuk menerima sertifikat 'cooking class' dan piagam penghargaan ABC Ibu Juara 2010 yang merupakan hadiah terindah dari orang-orang terkasih kami dan ABC. Usai seremonial berkesan tersebut, kami menyantap masakan hasil olahan sendiri, di ruang restoran Blue Elephant. Bu Netty, Nadia, dan Sarah sempat-sempatnya cuci mata melihat kegantengan asscort restauran yang kami duga peranakan Spanyol-Thailand dan berujung pada sesi foto bersama untuk wall paper Blackberry. Rupanya Bu Wanti, our senior citizen, tak mau ketinggalan ikut berkenalan dengan pemuda ganteng tersebut, sambil berkilah, "Kan kalau mau eksis ya harus narsis..."
Sesi pertama adalah pelajaran memasak makanan Thailand. Chef Sandra yang mengajar dengan asistensi Chef Haryo. Wanita itu hanya sempat mengajarkan satu resep karena harus segera menuju Pattaya untuk pembukaan restoran baru mereka di sana. Chef berikutnya (lupa namanya) melanjutkan dengan 3 jenis masakan. Chef laki-laki tersebut sangat telaten dan rapi dalam mengolah masakaannya, serapi polesan foundation, bedak, dan lip gloss terakota yang tertata harmonis di wajahnya yang licin. Menurut Mbak Yeye, semut pun akan tergelincir bila mencoba berjalan di kulit wajah sang chef. Kontras sekali gayanya dengan Chef Haryo yang sigap dan berjiwa petualang alam. Chef Haryo kemudian mengisi sesi kedua dengan 4 resep modifikasi masakan Indonesia bernuansa sentuhan rasa Thailand. Seorang asisten chef Blue Elephant bertubuh moleg khas koki dalam dongeng kerajaan, membantu Chef Haryo. Kehadirannya sangat menggemaskan dan menyita perhatian kami!
Program kursus memasak tersebut berdurasi sekitar 4 jam. Setiap satu masakan selesai diajarkan oleh Chef Blue Elephant, para ibu dan pasangan harus mempraktekkannya di dapur uji. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan bagi Rizki dan anak-anak lainnya yang mendapingi sang ibu. Ternyata kami jadi tahu bahwa rahasia kekhasan masakan Thailand adalah akar ketumbar dan lada segar yang tumbuh subur di negeri itu yang mereka selalu pakai hampir dalam setiap masakan. Sesungguhnya masakan Indonesia tak kalah kelezatannya, hanya saja kita harus belajar dari negeri Siam ini bagaimana mengemas dan mengiklankan kekhasan masakan tanah air hingga dapat mendunia, seperti milik mereka!
Selesai kelas memasak, kami semua mendapat kehormatan dari Blue Elephangt dan ABC untuk menerima sertifikat 'cooking class' dan piagam penghargaan ABC Ibu Juara 2010 yang merupakan hadiah terindah dari orang-orang terkasih kami dan ABC. Usai seremonial berkesan tersebut, kami menyantap masakan hasil olahan sendiri, di ruang restoran Blue Elephant. Bu Netty, Nadia, dan Sarah sempat-sempatnya cuci mata melihat kegantengan asscort restauran yang kami duga peranakan Spanyol-Thailand dan berujung pada sesi foto bersama untuk wall paper Blackberry. Rupanya Bu Wanti, our senior citizen, tak mau ketinggalan ikut berkenalan dengan pemuda ganteng tersebut, sambil berkilah, "Kan kalau mau eksis ya harus narsis..."
Day 2: Grand Palace & Emerald Budha
Emerald Budha dan Grand Palace adalah dua tempat yang harus dikunjungi di Bangkok. Kedua bangunan tersebut mempunyai konstribusi dalam pemberian julukan 'Negeri Seribu Pagoda' bagi Thailand. Dari kejauhan, atap-atap pagoda berlapis emas dan berukir indah bunga warna-warni menyembul dari balik pagar tinggi yang mengelilingi kompleks kedua bangunan agung kota Bangkok tersebut. Pagoda-pagoda tersebut merupakan stupa-stupa kuil yang didedikasikan oleh raja bagi negeri-negeri lawan perang Kerajaan Siam di masa lampau.
Ketika memasuki gerbang utama kompleks, kami langsung disambut oleh pemandangan megah gedung Grand Palace, yang merupakan istana raja. Ketika masuk, penjagaan sangat ketat dilakukan oleh petugas. Pengunjung berbaju minim atau memperlihatkan lekukan tubuh-bahkan celana panjang mengatung yang menampakkan mata kaki pun dianggap minim- jangan diharap bisa lolos masuk ke dalam area kuil Emerald Budha! Untungnya Pak Meng sudah mewanti-wanti kami sejak hari sebelumnya, bahkan Rizki diharuskan mengganti celana bermudanya tadi sebelum berangkat. Repotnya lagi, baju seragam peserta kami yang berwarna merah menyala lagi-lagi menjadi masalah. Pak Meng harus berkali-kali menjelaskan bahwa kami bukanlah simpatisan partai republik pemberontak raja Thailand, melainkan turis-turis baik budi dari Indonesia, sahabat ASEAN mereka.
Emerald Budha tak terkatakan keindahannya...apa yang berwarna emas memanglah emas asli! Ukiran-ukiran pada undakan pagoda kuil juga terlihat sangat cantik dan beragam. Masing-masing kuil menampilkan ciri khas negara yang mewakili persembahan sang raja. Ada kuil yang bernuansakan negeri Kamboja, ada lagi yang bernuansakan corakKetika memasuki gerbang utama kompleks, kami langsung disambut oleh pemandangan megah gedung Grand Palace, yang merupakan istana raja. Ketika masuk, penjagaan sangat ketat dilakukan oleh petugas. Pengunjung berbaju minim atau memperlihatkan lekukan tubuh-bahkan celana panjang mengatung yang menampakkan mata kaki pun dianggap minim- jangan diharap bisa lolos masuk ke dalam area kuil Emerald Budha! Untungnya Pak Meng sudah mewanti-wanti kami sejak hari sebelumnya, bahkan Rizki diharuskan mengganti celana bermudanya tadi sebelum berangkat. Repotnya lagi, baju seragam peserta kami yang berwarna merah menyala lagi-lagi menjadi masalah. Pak Meng harus berkali-kali menjelaskan bahwa kami bukanlah simpatisan partai republik pemberontak raja Thailand, melainkan turis-turis baik budi dari Indonesia, sahabat ASEAN mereka.
Melayu, dan sebagainya.
Kesemua kuil itu tegak anggun dan megah berdampingan, seolah menaungi para pengunjung aneka bangsa yang berada di bawah lindungan bayang-bayang mereka. Matahari yang bersinar sangat intensif memantulkan warna keemasan pagoda kembali ke langit yang cerah, menambah keanggunan keseluruhan kompleks Emerald Budha di pagi itu.
Setelah mengeksplorasi Emerald Budha, rombongan ABC bergerak keluar melintasi area Grand Palace, istana Raja Siam. Seorang penjaga belia berpakaian tentara kerajaan berdiri tegak di pos penjagaan, tanpa ekspresi. Bukannya ia sombong, tapi pemuda itu memang harus berdiri tegak dengan jaimnya selama 10 jam setiap hari dan tak boleh bergerak sedikit pun layaknya penjaga istana-istana lain di negara mana pun. Kami bergantian berfoto dengan sang prajurit yang malang tersebut. Bagaimana tidak malang, setengah dari waktu hidupnya ia habiskan untuk berdiri si depan pos penjagaan yang kecil itu...Melihat itu, anak-anak sekarang pasti akan berkomentar: OMG, capek dueeh...kasiaaan deh lo!!!!
Day 2: Menikmati Kenyamanan Hotel Ramada Menam Plaza
Hotel Ramada terletak di dalam area pertokoan Menam Plaza, tepat di tepi jalan raya yang mengarah ke jantung kota Bangkok. Terus terang saya pribadi sangat surprise mendapatkan fasilitas hotel sebaik itu dari ABC. Dulu saya pernah juga bermalam di salah satu hotel Ramada di kota Jeddah, namun kondisinya tak sebaik di negeri Siam ini. Rizki dan saya sangat menikmati kamar kami yang terletak di salah satu ujung lorong lantai 10 dengan pemandangan kecantikan Chaopraya River. Wat Arun Temple pun dapat kami nikmati keindahannya dari jendela kamar.
Lucunya, saya sepertinya memang sudah ditakdirkan hidup berdampingan dengan pemakaman! Sama halnya dengan di rumah BSD, kamar kami di Ramada pun berhadap-hadapan langsung dengan sebuah pemakaman yang tertata rapi. Tuhan mungkin tak ingin saya lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sejenak, masih ada kehidupan abadi yang menanti, makanya saya diberjodohkan dengan pemakaman.
Meskipun kenyamanan kamar hotel hanya bisa dinikmati barang 5-6 jam saja dalam sehari, itu pun hanya untuk tidur saja, Ramada memanjakan kami dengan pemandangan Chaopraya Rivernya di tepi restauran tempat para peserta menyantap sarapan pagi. Kami betul-betul mendapat pelayanan ala bintang-bintang Hollywood atau Bollywood ;-) Makan pagi ditemani secangkir kopi, teh, atau juice, segala makanan lezat mulai dari east sampai west, dan yang terpenting adalah atmosfir restauran dengan latar kapal-kapal berlabuh dan yang tengah lalu lalang di Chaopraya River, memberikan kesan bahwa kami tengah bersantap di negeri Monako, layaknya seorang bintang Festival Cannes.
Selesai sarapan kami segera menuju bus untuk mengikuti kegiatan hari kedua yang tak kalah padat dengan hari sebelumnya. Keberangkatan agak tertunda karena kami harus menunggu 'Sang Ratu Belanja' dan suami yang belum kunjung muncul. Pak Meng mulai spaneng...dan menentukan hukuman menyanyi satu lagu bagi yang terlambat datang. Bu Rosita dan Pak Baihaqi rupanya terlena dalam pelukan kasur empuk hotel Ramada...sampai-sampai tidak mendengar morning call jam 6 pagi tadi. Mungkin mereka kelelahan setelah 'tersasar' di Suan Lum Night Bazzar hingga melewatkan kesempatan makan pagi ala bintang Hollywood. Tapi tak apa-apa, toh masih ada jatah satu hari lagi menikmati kenyamanan dan santap pagi ala bintang di hotel Ramada...dan yang paling penting adalah kami harus membuat foto narsis di dermaga kapal Ramada dengan latar Chaopraya River sebagai stok profile picture di Facebook ;-)
Lucunya, saya sepertinya memang sudah ditakdirkan hidup berdampingan dengan pemakaman! Sama halnya dengan di rumah BSD, kamar kami di Ramada pun berhadap-hadapan langsung dengan sebuah pemakaman yang tertata rapi. Tuhan mungkin tak ingin saya lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sejenak, masih ada kehidupan abadi yang menanti, makanya saya diberjodohkan dengan pemakaman.
Meskipun kenyamanan kamar hotel hanya bisa dinikmati barang 5-6 jam saja dalam sehari, itu pun hanya untuk tidur saja, Ramada memanjakan kami dengan pemandangan Chaopraya Rivernya di tepi restauran tempat para peserta menyantap sarapan pagi. Kami betul-betul mendapat pelayanan ala bintang-bintang Hollywood atau Bollywood ;-) Makan pagi ditemani secangkir kopi, teh, atau juice, segala makanan lezat mulai dari east sampai west, dan yang terpenting adalah atmosfir restauran dengan latar kapal-kapal berlabuh dan yang tengah lalu lalang di Chaopraya River, memberikan kesan bahwa kami tengah bersantap di negeri Monako, layaknya seorang bintang Festival Cannes.
Selesai sarapan kami segera menuju bus untuk mengikuti kegiatan hari kedua yang tak kalah padat dengan hari sebelumnya. Keberangkatan agak tertunda karena kami harus menunggu 'Sang Ratu Belanja' dan suami yang belum kunjung muncul. Pak Meng mulai spaneng...dan menentukan hukuman menyanyi satu lagu bagi yang terlambat datang. Bu Rosita dan Pak Baihaqi rupanya terlena dalam pelukan kasur empuk hotel Ramada...sampai-sampai tidak mendengar morning call jam 6 pagi tadi. Mungkin mereka kelelahan setelah 'tersasar' di Suan Lum Night Bazzar hingga melewatkan kesempatan makan pagi ala bintang Hollywood. Tapi tak apa-apa, toh masih ada jatah satu hari lagi menikmati kenyamanan dan santap pagi ala bintang di hotel Ramada...dan yang paling penting adalah kami harus membuat foto narsis di dermaga kapal Ramada dengan latar Chaopraya River sebagai stok profile picture di Facebook ;-)
Day 1: Silk & Leather Factory, Royal Dragon and Suan Lum Night Bazzar
Pak Meng dengan sigap menggiring kami kembali ke bus untuk bergegas menuju Silk and Leather factory ternama di Bangkok. Sutra Thailand memang terkenal baik kualitasnya, maka para ibu pun bersemangat untuk segera mencuci mata senja itu. Setibanya di tujuan, kami langsung disambut dan dipersilakan untuk melihat-lihat produk batu mulia, kulit, dan sutra dengan kualitas terbaik di Siam. Walah..ternyata harganya cukup mahal, walhasil hanya segelintir dari kami yang keluar dengan jinjingan belanjaan ;-) Saya sendiri mundur teratur ketika ditawari sutra dengan harga 2500 Bath/m (Rp. 750.000,-), padahal budget yang saya patok maksimal Rp. 150.000/m! "Impossible Madam, impossible..." kata seorang pramuniaga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya menanyakan sutra dengan budget minimal tersebut. Yo wess...saya pun menjauh dari deretan kain sutra yang menggiurkan mata dan hati itu.
Tak lama kami menghabiskan waktu di sana, bahkan sebagian besar peserta sudah keburu ngacir masuk ke dalam bus setelah melihat tak ada kemungkinan berbelanja di sana...maklum uang saku yang diberi ABC memang dialokasikan untuk membeli oleh-oleh partai besar, jadi harus bijaksana dalam membelanjakannya! Setelah beberapa orang (saja) selesai bertransaksi, kami segera bergerak menuju Royal Dragon Restaurant.
Rumah makan yang masuk ke dalam Guiness Book of Record sebagai restoran terluas di dunia ini sangat terkenal dengan santapan lautnya. Makan malam kali itu sangat mewah.
Sajian sea food basket lengkap dengan menu-menu lainnya terhidang di meja bundar bertaplak kotak-kotak ala western. Ini unik, karena terjadi perpaduan antara makanan khas Thailand dengan taplak ala Barat! Saya kebetulan duduk satu meja dengan Chef Haryo dan sempat berdiskusi mengapa masakan Thailand yang rasanya sangat datar bila dibandingkan dengan makanan Indonesia, begitu mendunia namanya. Menurut Cheff, justru karena datar itulah maka orang Barat lebih dapat menerimanya dengan baik ketimbang masakan Indonesia yang kaya cita rasa bumbu.
Menariknya lagi, sambil bersantap kami disuguhi atraksi tarian tradisional oleh para penari wanita. Beberapa dari kami bertaruh dan menerka-nerka mana di antara para penari tersebut yang merupakan wanita trans seksual! Maklumlah Thailand juga terkenal dengan 'wanita jadi-jadiannya' yang cantik. Selain itu, adegan tom yam terbang yang dibawa oleh seorang pelayan laki-laki sambil meluncur dengan sebuah sling yang membentang di atas kolam ikan panjang, juga disuguhkan. Meskipun makanannya terasa hambar di lidah saya, namun makan malam di Royal Dragon terasa sangat sempurna!
Usai santap malam, kami tak langsung check in ke hotel melainkan melaju ke Suan Lum Night Bazzar. Pasar malam ini persis seperti Tanah Abang Tempoe Doeloe, terdiri dari los-los kios yang cukup padat dengan aneka dagangan mulai dari kain, baju, sampai pernak-pernik sulap! Nah inilah yang ditunggu-tunggu para ibu dan bapak...surga belanja! Setiap orang diberi waktu 2 jam untuk berbelanja sepuasnya dan kembali berkumpul di bus pada jam 22.30. Jadilah malam itu malam perburuan bagi para peserta..."lupakan hutang!", demikian kata Pak Meng, maka semua pun menghabiskan rata-rata setengah dari uang saku di Suan Lum! Saya tak banyak berbelanja, karena Rizki sudah mengantuk luar biasa...ternyata malaikat kecil itu dikirim Tuhan untuk menjadi rem nafsu belanja mamanya ;-)
Seingat saya kami baru beranjak dari Suan Lum lewat dari pukul 23.00, karena Ibu Rosita dan Pak Baihaqi asal Surabaya, tak kunjung bergabung dalam bus. Sudah bisa ditebak, merekalah juaranya malam itu...sampai-sampai plastik belanjaan yang dibawa menyerupai karung hadiah Santa Klaus! "Aduh maaf...kami nyasar!" ujar Ibu Rosita. Nyasar tapi kok heboh belanjaannya??? Sejak malam itu kami menjulukinya "Ratu Belanja"!
Tuesday, March 9, 2010
Bangkok Day 1: Chaopraya River & Wat Arun Temple
Di atas kapal menelusuri Chaopraya River
Sungai Chaopraya adalah tujuan pertama wisata kami siang itu, setelah melahap sup tom yam asli Siam sebagai menu utama makan siang di sebuah restoran muslim, tak jauh dari bandara Suwannabhumi. Jam menunjukkan pukul 14.30 an (tak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok), ketika kami bergerak melewati pasar makanan di sepanjang gang menuju pangkalan perahu yang akan membawa kami ke Sungai Chaopraya. Rizki masih belum terlalu sadar dari tidurnya yang cukup nyenyak tadi di bus. Wajahnya masih mengantuk dan ia menggerutu sepanjang jalan. Gerutunya hilang ketika sampai di galangan kapal dan meneguk sekaleng minuman dingin.
Wat Arun Temple terlihat dari tengah Chaopraya River
Kami segera melompat ke dalam perahu kayu bermotor yang bertuliskan aksara Thailand pada badannya. Matahari bersinar terik, temperatur hari itu sekitar 39-40 derajat celcius di Bangkok, parahnya lagi tak ada angin berhembus yang mungkin dapat agak meredakan panasnya siang itu. Kapal bergerak membawa rombongan menjelajahi sungai Chaopraya yang dikelilingi pemandangan cukup indah dan syahdu. Atap-atap kuil berbentuk pagoda menyembul di sela gedung-gedung yang tak terlalu menjulang tingginya. Beda betul dengan pemandangan kota metropolitan Jakarta yang padat akan gedung pencakar langit.
Pak Meng, sang guide, menceritakan berbagai hal seputar Chaopraya River tersebut, diantaranya mitos tentang ikan patin putih sakral (dianggap sebagai dewa) dan dapat mengabulkan permintaan orang yang dapat memancingnya keluar dengan umpan roti yang dijual di atas perahu. Ikan-ikan patin yang jumlahnya ratusan itu berenang di sekitar tepian Wat Arun Temple, kuil tertua di Bangkok. Teman kami, Ibu Dian, dari Surabaya, berhasil memancing keluar ikan patin dewa tersebut dan sangat berharap bahwa impiannya untuk segera mendapatkan anak kedua dapat terwujud.
Ibu Juara ABC ayo seyum...seyum...
Kapal berlabuh di tepi Wat Arun Temple. Kuil tua itu berdiri megah menjulang di bawah kaki langit kota Bangkok. Ratusan burung dara menyambut kami di tangga tepi pangkalan tempat kapal berlabuh. Bunyi gemerincing ribuan lonceng kecil di sekeliling mahkota-mahkota pagoda Wat Arun meningkahi sapuan angin sore yang mulai berhembus malu-malu. Sayang kami tak banyak waktu hingga hanya sempat berfoto di depannya saja. Uniknya, para pedagang di kompleks kuil tersebut sangat senang pada turis Indonesia, sehingga kami semua mendapat suvenir kipas cuma-cuma! Sebelum beranjak meninggalkan kuil,
rombongan kami mengabadikan momen tersebut dengan menggelar spanduk Ibu Juara ABC. Sang fotografer beserta asistennya memberi aba-aba: "Ibu...seyum...seyum...sekali lagi seyum....!!!!" Ha..ha.. kami pun bukan cuma ter'seyum' tapi tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya ;-)
Wat Arun Temple terlihat dari tengah Chaopraya River
Kami segera melompat ke dalam perahu kayu bermotor yang bertuliskan aksara Thailand pada badannya. Matahari bersinar terik, temperatur hari itu sekitar 39-40 derajat celcius di Bangkok, parahnya lagi tak ada angin berhembus yang mungkin dapat agak meredakan panasnya siang itu. Kapal bergerak membawa rombongan menjelajahi sungai Chaopraya yang dikelilingi pemandangan cukup indah dan syahdu. Atap-atap kuil berbentuk pagoda menyembul di sela gedung-gedung yang tak terlalu menjulang tingginya. Beda betul dengan pemandangan kota metropolitan Jakarta yang padat akan gedung pencakar langit.
Pak Meng, sang guide, menceritakan berbagai hal seputar Chaopraya River tersebut, diantaranya mitos tentang ikan patin putih sakral (dianggap sebagai dewa) dan dapat mengabulkan permintaan orang yang dapat memancingnya keluar dengan umpan roti yang dijual di atas perahu. Ikan-ikan patin yang jumlahnya ratusan itu berenang di sekitar tepian Wat Arun Temple, kuil tertua di Bangkok. Teman kami, Ibu Dian, dari Surabaya, berhasil memancing keluar ikan patin dewa tersebut dan sangat berharap bahwa impiannya untuk segera mendapatkan anak kedua dapat terwujud.
Ibu Juara ABC ayo seyum...seyum...
Kapal berlabuh di tepi Wat Arun Temple. Kuil tua itu berdiri megah menjulang di bawah kaki langit kota Bangkok. Ratusan burung dara menyambut kami di tangga tepi pangkalan tempat kapal berlabuh. Bunyi gemerincing ribuan lonceng kecil di sekeliling mahkota-mahkota pagoda Wat Arun meningkahi sapuan angin sore yang mulai berhembus malu-malu. Sayang kami tak banyak waktu hingga hanya sempat berfoto di depannya saja. Uniknya, para pedagang di kompleks kuil tersebut sangat senang pada turis Indonesia, sehingga kami semua mendapat suvenir kipas cuma-cuma! Sebelum beranjak meninggalkan kuil,
rombongan kami mengabadikan momen tersebut dengan menggelar spanduk Ibu Juara ABC. Sang fotografer beserta asistennya memberi aba-aba: "Ibu...seyum...seyum...sekali lagi seyum....!!!!" Ha..ha.. kami pun bukan cuma ter'seyum' tapi tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya ;-)
Sunday, March 7, 2010
Bangkok Day 1: Get Ready for the Cultural and Cullinary Trip
Jumat, 5 Maret pagi buta jam 3.30, Rizki dan saya telah dijemput di rumah oleh panitia penyelenggara untuk segera menuju Bandara Soekarno-Hatta mengejar flight pukul 9 ke Bangkok. Kami manut saja, meskipun rasanya terlalu pagi, namun memang demikianlah jadwal yang harus diikuti oleh peserta ABC Ibu Juara 2010.
Tiba di airport jam 04.45, ternyata sudah menunggu Ibu Wanti -peserta tersenior- dan anak gadisnya, Putri, asal Depok. Tak tanggung-tanggung mereka sudah menunggu di sana sejak pukul 4 pagi! Bu Wanti berkelakar bahwa ialah yang mengepel lantai Terminal 2E pagi itu ;-) Saya mulai merasakan kegembiraan berjumpa teman baru, begitu juga dengan Rizki. Pukul 5.30 Ibu Netty Gan dan Nadia, putrinya, bersama Ibu Hedy dan putrinya, Sarah, tiba dan menambah kesemarakan canda kami pagi itu. Mereka adalah peserta dari Bekasi. Kami segera bergurau dan menjadi akrab. Waktu menunggu yang cukup panjang jadi tak terasa karena ditingkahi canda dan tawa kami. Pukul 8 barulah seluruh peserta dari luar Jabodetabek datang bersama panitia penyelenggara dan Cheff Haryo yang kehadirannya tidak diinformasikan pada kami sebelumnya. Entah mengapa, kami sangat cepat menjadi akrab satu sama lain. Belum apa-apa kami sudah saling melempar joke dan celaan guyon yang memancing tawa hingga terpingkal-pingkal.
Jam 9.40 pesawat take off bertolak menuju Bangkok. Penerbangan dengan GA 866 memakan waktu 3 jam. Sepanjang jalan Rizki tampak antusias menonton film dan mondar-mandir ke tempat duduk peserta yang lain. Tepat pukul 12.40 pesawat mendarat di Suwannabhumi Airport, Bangkok, yang sangat mengagumkan. Seingat saya dulu pada tahun 2000 ketika transit di sini, kondisinya masih lebih buruk daripada bandara di Jogja, namun kini saya tercengang akan perubahan drastis yang terlihat di sana! Suwannabhumi berubah menjadi bangunan modern nan megah dan bersih. Teringat saya akan tanah air, lalu mengurut dada...kapan Indonesia tercinta akan lebih maju seperti negeri Siam ini?
Lepas cek imigrasi, kami segera diajak berwisata oleh Pak Meng, seorang guide asli Thailand namun pandai berbahasa Melayu, dengan mengendarai bus pariwisata berbadan tinggi besar layaknya double decker, hanya saja bagian bawahnya menjadi bagasi koper-koper kami. Hmm...inilah Bangkok, negeri seribu Pagoda yang kekhasan budaya dan kulinernya telah mendunia! Bersama kawan-kawan baru kami, Rizki- sang malaikat kecilku- dan saya tergoda untuk segera menjelajahinya...
Friday, February 19, 2010
Jujurnya Anak-Anak...;-)
Hari Rabu yang lalu, sebuah tim agency datang berkunjung ke rumah kami dalam rangka shooting video family profile yang disponsori oleh sebuah produk multinasional. Keluarga kami kebetulan masuk ke dalam 20 besar semifinalis kompetisi keluarga yang digelar oleh perusahaan itu, sehingga family profile tersebut akan menjadi salah satu pertimbangan dalam penilaian babak selanjutnya. Meskipun hal itu merupakan sebuah peristiwa penting bagi kami, namun jujur tak ada persiapan khusus yang dilakukan, termasuk mengarahkan anak-anak untuk begini dan begitu...jadi seluruh anggota keluarga tampil apa adanya saja.
Nah, rupanya shooting dibagi menjadi beberapa segmen, di antaranya adalah wawancara masing-masing anggota keluarga, termasuk anak-anak tentunya. Pertanyaan-pertanyaan awal cukup ringan, seputar aktivitas keluarga, dan peran orangtua dalam mendidik anak dan menjalankan rumah tangga. Pada bagian berikutnya, tallent couch yang bertindak sebagai pewawancara menanyakan pertanyaan khusus bagi anak-anak saja, orangtua tak boleh ikut menjawab atau mengarahkan mereka. Nah... kondisi ini cukup kritis, karena anak-anak selalu berkata jujur, jadi kami pun bersiap-siap mendengar hal-hal yang bersifat privat akan terungkap ke permukaan!
Betul saja! Ketika ditanya "Siapa yang paling galak, Mama atau Papa?" maka si sulung angkat bicara, "Papa!"
"Bagaimana galaknya?" cecar si om.
"Itu loh kalau Abang gak bisa matematika, Papa pasti marahin Abang: Kenapa sih...kok nggak bisa! Matanya melotot lagi!" Sang adik bahkan memberikan contoh 'mata melotot' papanya, diiringi wajah meringis suami saya dan tawa kru yang hadir di rumah kami. Saya sendiri jadi deg-degan...karena bukan tidak mungkin akan ada kejutan lain yang kali ini akan menyinggung 'si mama'.
Betul saja! Ketika si Bungsu ditanya, "Kalau Mama galak nggak?" dengan cepat ia menjawab, "Iya!" waduh...saya jadi was-was.
"Bagaimana galaknya?" tanya si Om penuh selidik.
"Mama marah kalau kita nggak sholat...Adek pernah satu kali disabet pakai ikat pinggang loh, begini ni Om..'bet', tapi nggak sakit sih!" si Bungsu Rayhan yang sangat ekspresif menjelaskan sambil tertawa terpingkal-pingkal karena para kru juga tertawa menyaksikan aksinya.
"Tapi Abang nggak pernah, itu karena Adek yang susah diatur!" Si Abang ambil suara.
"Ia, Abang rajin sholatnya Om..." puji Sang Adik bangga.
Saya jadi salting...sambil kembali mengingat kapan ya peristiwa itu terjadi? "Oh...ia, itu karena Adek susah sekali sholat, lari-lari...tapi 'kan nggak keras Mama kasih ikat pinggangnya...cuma supaya menurut aja..." jelas saya mencoba meluruskan kalau-kalau ada pardigma negatif dari para kru.
Syukurnya semua yang hadir sore itu menanggapinya positif, bahkan si om membela saya, "Tuh, Mama dan Papa 'kan marah ada sebabnya...dan tujuannya supaya Abang dan Adek jadi disiplin!" Saya dan suami mesem-mesem mendengarnya, sementara kedua jagoan kami mengangguk setuju.
Jujur sejujur-jujurnya, semua itu kami lakukan dalam batas-batas peringatan saja, tidak ada niatan untuk menyakiti anak, bahkan segaris luka pun tak timbul olehnya. Bagaimana mungkin...mengandung, melahirkan, dan membesarkan mereka saja saya lakoni dengan susah payah, masa sudah besar mau disakiti...Nauzubillah min Zalik! Selain itu, apa yang kami lakukan juga ada landasan aturannya, yaitu ajaran agama. Anak saya sendiri yang mengatakan pada saya pada suatu malam, selepas mereka sholat Isya di masjid, "Ma, kata Pak Ustad, anak berusia 7 tahun kalau tidak mau sholat boleh disabet pantatnya dengan ikat pinggang!" Maka marilah kita didik mereka untuk konsekuen, sehingga mereka tak menyepelekan perintah Tuhan. Semua itu kami lakukan semata-mata untuk kebaikan kedua buah hati, tak ada niatan untuk menutup-nutupi, namun siapa sangka kejujuran dan kepolosan keduanyalah yang mengungkap 'our little rules' itu ke permukaan.
We love you and very proud of you both, sons...peliharalah kejujuran dan keimanan kalian dalam mengarungi kehidupan ini!
Bersyukur atas Rezeki Ilmu Pengetahuan
Suatu hari, kedua anak lelaki saya pulang dari sholat subuh dengan sepotong kutipan ceramah ustad pagi itu yang rupanya sangat mengena di hati mereka.
"Ma, tadi kata pak ustad, kita harus berterima kasih kepada Allah setiap waktu," si sulung memulai kisahnya. Adiknya, Rayhan, menyimak perkataan sang abang.
Saya menaruh perhatian yang dalam, karena jarang sekali mereka melaporkan isi khotbah, pasti kali ini sangat menarik,"Ya, betul itu Bang, kita harus bersyukur kepada Allah atas semua rezeki yang diberi."
"Iya Ma, kata pak ustad bukan cuma rezeki uang dan kesehatan loh, tapi juga rezeki..."kalimat Rizki belum lagi selesai ketika adiknya ikut menyambar, "Ilmu pengetahuan!" ujar mereka hampir bersamaan.
Subhanallah...keharuan menyelimuti perasaan saya pagi itu. Selain itu, saya pun jadi terhentak menyadari betapa selama ini rasanya doa-doa yang terpanjatkan dan ucapan syukur yang mengalir hanya melulu seputar rezeki materi dan kesehatan...rezeki ilmu pengetahuan yang diberikan Allah seolah memang merupakan hasil usaha diri ini sendiri...Astagfirullahhalaziim.
Saya segera membenarkan perkataan ustad yang sangat mengena bagi kedua bocah itu. Kami lalu kembali membicarakan lebih jauh mengenai rezeki ilmu yang diberikan Allah kepada mereka berdua. Abang dengan bangganya mengatakan Allah telah memberinya kepandaian dalam memecahkan soal matematika, selain itu karena rezeki ilmu ia juga dapat berbahasa Jerman, bermain gitar, berenang, dan mengoperasikan komputer. Rayhan tak mau kalah, ia dapat membaca dan berhitung juga karena rezeki ilmu dari Allah. Namun tak lupa saya tekankan bahwa, rezeki yang diberikan tak akan berguna bila manusianya tidak mau berusaha belajar dan menambah ilmu dari waktu ke waktu. Subhanallah keduanya sepakat dan semakin giat belajar karena tak ingin rezeki ilmu pengetahuannya dicabut oleh Allah.
Malu juga rasanya mendapat teguran Allah lewat kedua buah hati saya yang masih sangat belia, karena selama ini telah melupakan campur tangan Dia dalam proses penggalian ilmu yang belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu Sang Khalik. Kembali saya menghitung-hitung berapa besar rezeki ilmu pengetahuan yang telah saya dapatkan dari Allah, SWT. Ilmu mengajar, berbicara, menulis, mendidik anak, agama, dan masih banyak lagi adalah pemberian Allah semata, lewat usaha-usaha yang saya lakukan sebagai hambanya di muka bumi. Betapa bersyukurnya saya atas rezeki ilmu pengetahuan yang telah diberikanNya selama ini. Kini dalam setiap doa yang saya panjatkan, Insyaallah tak 'kan luput saya haturkan terima kasih atas rezeki ilmu pengetahuan yang telah Allah berikan pada kami, sambil tetap meminta padaNya agar diri ini mampu dan mau berusaha tanpa kenal lelah dalam meningkatkan pengetahuan, yang menjadi rahasia Sang Khalik, yang terserak di muka bumi. Allahuakbar, Allah Maha Besar. Rabbi zidni 'ilma war zukni fahma, Amin Yaa Rabbal Aalamin.
Perspective Changing
Baru saja saya mendapat telepon dari seorang teman lama semasa sekolah dulu. Awalnya saya tak mengenali suaranya-apalagi dia pakai acara berteka-teki segala- namun lama-kelamaan warna suaranya mulai terdeteksi, dan saya sebut saja namanya: Ismu!
"Ha..ha..ha..tau aja lu!" sahutnya membenarkan tebakan saya.
Jelas saya tahu sekali suaranya, karena hampir satu tahun di kelas 3 SMP dulu, bangku kami posisinya berpunggungan, sehingga seringkali terjadi transaksi peminjaman alat-alat tulis di antara kami. Namun demikian saya sempat kaget juga, karena bila dulu Ismu termasuk golongan anak pendiam dan tak banyak bicara, tadi justru ialah yang mendominasi pembicaraan kami. Cara berbicaranya pun sangat teratur, diplomatis, dan mengandung kepercayaan diri yang tinggi!
Kami sempat bertukar pengalaman hidup selepas masa kuliah tadi. Kebetulan dulu kami pun satu kampus, di sastra UI-Depok. Ismu sempat kaget juga mengetahui bahwa saya sekarang lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga atau teman, tak tergiur oleh budaya konsumtif masyarakat urban kini, dan sangat cinta kesederhanaan.
"Kasian banget deh Lu...masa nggak punya BB sih?" tanyanya terkaget-kaget.
"Bukannya anti Mu, tapi orientasi hidup gue nggak ke situ...saat ini rasanya gue belum butuh teknologi HP secanggih itu, lagipula gue tetap terupdate info-info kok lewat FB misalnya, atau teman-teman kabarin lewat sms, buat gue itu sudah cukup." demikian jawaban jujur saya.
Saya dan dia akhirnya jadi menganalisis perubahan perspektif yang telah secara tak langsung mengubah gaya dan orientasi hidup kami kini. Kesimpulannya, Ismu mengatakan ia harus merubah perspektifnya karena tuntutan pekerjaannya di bidang jasa memintanya untuk tampil lebih percaya diri, supel, dan mampu mempengaruhi klien. Maka jadilah Ismu versi baru yang sangat supel dan percaya diri. Sementara saya sendiri mengalami perubahan perspektif ketika berkesempatan tinggal di Jerman dan kini bekerja di lingkungan para ekspatriat dari negara tersebut. Efisiensi, efektivitas, dan budaya hidup tidak konsumtif kini banyak mengarahkan saya pada sebuah gaya hidup dan cara berpikir baru yang mungkin membuat kaget beberapa teman. Tapi kami tadi sepakat bahwa sejauh perubahan-perubahan itu mengarah pada hal positif dan membuat lebih bahagia, maka berarti perspektif yang dianut adalah yang sudah cukup baik atau tepat bagi kita.
Tak terasa perbincangan singkat dengan teman lama tadi cukup membuat saya berefleksi sejenak tentang perjalanan hidup ini. Meskipun ditutup dengan sebuah promosi produk oleh Ismu, saya tidak lantas jadi jengkel padanya, karena perubahan perspektif yang membuat teman saya itu menjadi sosok supel dan penuh percaya diri telah membuat saya bangga dan tutut mensupport usahanya. Good luck my pal!
Subscribe to:
Posts (Atom)