Pagi ini, Sabtu, 19 Juni 2010, saya duduk di kursi meja makan kami yang sederhana, menikmati secangkir kopi, sambil bercengkarama dengan tuts-tust keyboard laptop kantor. Semetara itu, di kursi ujung meja makan, Rayhan, bungsu kami, juga tengah asyik mengutak-ngatik laptop saya. Hmm...saya sangat menikmati suasana pagi ini. Subhanallah...nikmatnya hidup ini, di tengah keluarga terkasih dan alam sekitar rumah sederhana kami yang masih terbilang hijau dan alami. Kembali semilir angin sejuk pagi mengalir masuk ke dalam rumah, lalu ia berputar ke luar untuk memberikan kesempatan bagi temannya untuk bersirkulasi di rumah kami yang berjendela banyak. Saya menarik nafas panjang, tak ingin menyia-nyiakan berkah Allah yang tak ternilai harganya tersebut... Ahh...kesegaran langsung merasupi rongga dada saya, Alhamdulillah.
Saya kemudian berpikir, betapa kita wajib bersyukur atas segala yang didapat, mulai dari hal-hal kecil yang tampak sepele. Kembali saya teguk kopi yang mulai dingin sambil melirik suami yang duduk menggantikan Rayhan di ujung meja makan. Ia begitu ganteng dengan baju batiknya...juga begitu wangi oleh parfumnya yang dihembus-hembus semilir angin sejuk. Dia sudah mandi dan baru saja pulang dari kondangan akad nikah seorang kerabat, sementara saya masih berbalut baju tidur dan berminyak-minyak...tapi betapa bersyukurnya saya karena dia tetap tak sungkan berdekatan dengan saya dalam kondisi ini. Hmm...lagi-lagi bersyukur akan hal sederhana, baru saja saya lakukan.
Angin pagi masih terus berhembus, semilir mengalir ke rumah, keluar menggoda pohon pisang hias kami di halaman belakang hingga membuatnya menari-nari kegirangan...ah indahnya pemandangan itu. Hmm, bau pewangi lantai baru saja melintasi hidung saya...Si Mpok rupanya dengan ember berisi air berpewangi lantai. Kehadiran Mpok meskipun tak full time di rumah kami juga merupakan berkah bagi keluarga saya. Lumayan, di Sabtu pagi saya bisa bersantai sejenak sambil menulis, karena ada Si Mpok yang membantu mengurusi rumah. Alhamdulillah...kembali saya bersyukur.
Pohon pisang hias kami melambai-lambai digoda sang angin pagi. Saya menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengakhiri renungan pagi ini, karena merasa sudah pliket ingin segera mandi. Suami saya berpindah duduk di hadapan saya, kakinya berselonjor santai, mulutnya asyik mengunyah kerupuk warung yang dibeli Rizki, sulung kami, tadi malam ketika saya dan dia kelaparan namun tak punya pilihan lain selain makan 2 bungkus indomie yang masih tersimpan rapi di lemari stok makanan kami. Alhamdulillah masih ada indomie...Wah, bahkan indomie yang tak sehat bila dikonsumsi terlalu sering pun, bisa jadi media untuk bersyukur ;-)
Alhamdulillah...akhirnya saya bisa mengakhiri tulisan ini, karena biasanya kalau sudah banyak ide, tangan saya sulit sekali diajak untuk meninggalkan teman-teman tutsnya yang selalu menggoda....
No comments:
Post a Comment