Sungai Chaopraya adalah tujuan pertama wisata kami siang itu, setelah melahap sup tom yam asli Siam sebagai menu utama makan siang di sebuah restoran muslim, tak jauh dari bandara Suwannabhumi. Jam menunjukkan pukul 14.30 an (tak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok), ketika kami bergerak melewati pasar makanan di sepanjang gang menuju pangkalan perahu yang akan membawa kami ke Sungai Chaopraya. Rizki masih belum terlalu sadar dari tidurnya yang cukup nyenyak tadi di bus. Wajahnya masih mengantuk dan ia menggerutu sepanjang jalan. Gerutunya hilang ketika sampai di galangan kapal dan meneguk sekaleng minuman dingin.
Wat Arun Temple terlihat dari tengah Chaopraya River
Kami segera melompat ke dalam perahu kayu bermotor yang bertuliskan aksara Thailand pada badannya. Matahari bersinar terik, temperatur hari itu sekitar 39-40 derajat celcius di Bangkok, parahnya lagi tak ada angin berhembus yang mungkin dapat agak meredakan panasnya siang itu. Kapal bergerak membawa rombongan menjelajahi sungai Chaopraya yang dikelilingi pemandangan cukup indah dan syahdu. Atap-atap kuil berbentuk pagoda menyembul di sela gedung-gedung yang tak terlalu menjulang tingginya. Beda betul dengan pemandangan kota metropolitan Jakarta yang padat akan gedung pencakar langit.
Pak Meng, sang guide, menceritakan berbagai hal seputar Chaopraya River tersebut, diantaranya mitos tentang ikan patin putih sakral (dianggap sebagai dewa) dan dapat mengabulkan permintaan orang yang dapat memancingnya keluar dengan umpan roti yang dijual di atas perahu. Ikan-ikan patin yang jumlahnya ratusan itu berenang di sekitar tepian Wat Arun Temple, kuil tertua di Bangkok. Teman kami, Ibu Dian, dari Surabaya, berhasil memancing keluar ikan patin dewa tersebut dan sangat berharap bahwa impiannya untuk segera mendapatkan anak kedua dapat terwujud.
Ibu Juara ABC ayo seyum...seyum...
Kapal berlabuh di tepi Wat Arun Temple. Kuil tua itu berdiri megah menjulang di bawah kaki langit kota Bangkok. Ratusan burung dara menyambut kami di tangga tepi pangkalan tempat kapal berlabuh. Bunyi gemerincing ribuan lonceng kecil di sekeliling mahkota-mahkota pagoda Wat Arun meningkahi sapuan angin sore yang mulai berhembus malu-malu. Sayang kami tak banyak waktu hingga hanya sempat berfoto di depannya saja. Uniknya, para pedagang di kompleks kuil tersebut sangat senang pada turis Indonesia, sehingga kami semua mendapat suvenir kipas cuma-cuma! Sebelum beranjak meninggalkan kuil,
rombongan kami mengabadikan momen tersebut dengan menggelar spanduk Ibu Juara ABC. Sang fotografer beserta asistennya memberi aba-aba: "Ibu...seyum...seyum...sekali lagi seyum....!!!!" Ha..ha.. kami pun bukan cuma ter'seyum' tapi tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya ;-)
Wat Arun Temple terlihat dari tengah Chaopraya River
Kami segera melompat ke dalam perahu kayu bermotor yang bertuliskan aksara Thailand pada badannya. Matahari bersinar terik, temperatur hari itu sekitar 39-40 derajat celcius di Bangkok, parahnya lagi tak ada angin berhembus yang mungkin dapat agak meredakan panasnya siang itu. Kapal bergerak membawa rombongan menjelajahi sungai Chaopraya yang dikelilingi pemandangan cukup indah dan syahdu. Atap-atap kuil berbentuk pagoda menyembul di sela gedung-gedung yang tak terlalu menjulang tingginya. Beda betul dengan pemandangan kota metropolitan Jakarta yang padat akan gedung pencakar langit.
Pak Meng, sang guide, menceritakan berbagai hal seputar Chaopraya River tersebut, diantaranya mitos tentang ikan patin putih sakral (dianggap sebagai dewa) dan dapat mengabulkan permintaan orang yang dapat memancingnya keluar dengan umpan roti yang dijual di atas perahu. Ikan-ikan patin yang jumlahnya ratusan itu berenang di sekitar tepian Wat Arun Temple, kuil tertua di Bangkok. Teman kami, Ibu Dian, dari Surabaya, berhasil memancing keluar ikan patin dewa tersebut dan sangat berharap bahwa impiannya untuk segera mendapatkan anak kedua dapat terwujud.
Ibu Juara ABC ayo seyum...seyum...
Kapal berlabuh di tepi Wat Arun Temple. Kuil tua itu berdiri megah menjulang di bawah kaki langit kota Bangkok. Ratusan burung dara menyambut kami di tangga tepi pangkalan tempat kapal berlabuh. Bunyi gemerincing ribuan lonceng kecil di sekeliling mahkota-mahkota pagoda Wat Arun meningkahi sapuan angin sore yang mulai berhembus malu-malu. Sayang kami tak banyak waktu hingga hanya sempat berfoto di depannya saja. Uniknya, para pedagang di kompleks kuil tersebut sangat senang pada turis Indonesia, sehingga kami semua mendapat suvenir kipas cuma-cuma! Sebelum beranjak meninggalkan kuil,
rombongan kami mengabadikan momen tersebut dengan menggelar spanduk Ibu Juara ABC. Sang fotografer beserta asistennya memberi aba-aba: "Ibu...seyum...seyum...sekali lagi seyum....!!!!" Ha..ha.. kami pun bukan cuma ter'seyum' tapi tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya ;-)
No comments:
Post a Comment