Friday, February 19, 2010

Perspective Changing


Baru saja saya mendapat telepon dari seorang teman lama semasa sekolah dulu. Awalnya saya tak mengenali suaranya-apalagi dia pakai acara berteka-teki segala- namun lama-kelamaan warna suaranya mulai terdeteksi, dan saya sebut saja namanya: Ismu!

"Ha..ha..ha..tau aja lu!" sahutnya membenarkan tebakan saya.
Jelas saya tahu sekali suaranya, karena hampir satu tahun di kelas 3 SMP dulu, bangku kami posisinya berpunggungan, sehingga seringkali terjadi transaksi peminjaman alat-alat tulis di antara kami. Namun demikian saya sempat kaget juga, karena bila dulu Ismu termasuk golongan anak pendiam dan tak banyak bicara, tadi justru ialah yang mendominasi pembicaraan kami. Cara berbicaranya pun sangat teratur, diplomatis, dan mengandung kepercayaan diri yang tinggi!

Kami sempat bertukar pengalaman hidup selepas masa kuliah tadi. Kebetulan dulu kami pun satu kampus, di sastra UI-Depok. Ismu sempat kaget juga mengetahui bahwa saya sekarang lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga atau teman, tak tergiur oleh budaya konsumtif masyarakat urban kini, dan sangat cinta kesederhanaan.

"Kasian banget deh Lu...masa nggak punya BB sih?" tanyanya terkaget-kaget.
"Bukannya anti Mu, tapi orientasi hidup gue nggak ke situ...saat ini rasanya gue belum butuh teknologi HP secanggih itu, lagipula gue tetap terupdate info-info kok lewat FB misalnya, atau teman-teman kabarin lewat sms, buat gue itu sudah cukup." demikian jawaban jujur saya.

Saya dan dia akhirnya jadi menganalisis perubahan perspektif yang telah secara tak langsung mengubah gaya dan orientasi hidup kami kini. Kesimpulannya, Ismu mengatakan ia harus merubah perspektifnya karena tuntutan pekerjaannya di bidang jasa memintanya untuk tampil lebih percaya diri, supel, dan mampu mempengaruhi klien. Maka jadilah Ismu versi baru yang sangat supel dan percaya diri. Sementara saya sendiri mengalami perubahan perspektif ketika berkesempatan tinggal di Jerman dan kini bekerja di lingkungan para ekspatriat dari negara tersebut. Efisiensi, efektivitas, dan budaya hidup tidak konsumtif kini banyak mengarahkan saya pada sebuah gaya hidup dan cara berpikir baru yang mungkin membuat kaget beberapa teman. Tapi kami tadi sepakat bahwa sejauh perubahan-perubahan itu mengarah pada hal positif dan membuat lebih bahagia, maka berarti perspektif yang dianut adalah yang sudah cukup baik atau tepat bagi kita.

Tak terasa perbincangan singkat dengan teman lama tadi cukup membuat saya berefleksi sejenak tentang perjalanan hidup ini. Meskipun ditutup dengan sebuah promosi produk oleh Ismu, saya tidak lantas jadi jengkel padanya, karena perubahan perspektif yang membuat teman saya itu menjadi sosok supel dan penuh percaya diri telah membuat saya bangga dan tutut mensupport usahanya. Good luck my pal!

No comments: