Wednesday, February 3, 2010

'Topi' pun baginya Simbol Politik


Topi saya bundar,
Bundar topi saya,
Kalau tidak bundar,
Bukan topi saya!

Ingat 'kan syair lagu "Topi Saya" yang sering kita nyanyikan dulu ketika masih kanak-kanak? Kini lagu itu jarang sekali terdengar, atau bahkan mungkin sudah tak pernah diajarkan lagi oleh guru-guru TK sekarang? Entahlah...yang jelas bukan eksistensi lagu itu yang ingin saya bicarakan di sini, tapi justru 'topi' sebagai objek utamanya.

Sekilas rasanya kok si penulis syair lagu mempermasalahkan betul ya bentuk topi bundar yang adalah miliknya. Kalau tidak bundar, ya bukan topi dia. Jadi topinya haruslah topi yang bundar saja! Ada apa dengan topi bundar? Lah kok saya jadi terkecoh, di mana-mana topi ya memang harus bundar...kalau kotak atau segitiga, bagaimanan caranya memasukkan kepala kita ke dalamnya? Meskipun berbentuk segitiga atau kotak atau seperti roket sekalipun, tentulah topi itu harus mempunyai dasar yang bundar sehingga kepala dapat memakainya...kecuali kalau memang ada bentuk kepala yang segitiga atau persegi empat, maka orang yang bersangkutan harus memesan topi khusus baginya.

Nah, demikianlah seharusnya kita memaknai topi: sebuah benda bundar yang dipakai sebagai alat pelindung atau semata untuk alasan mode. Namun ternyata, di sebuah negeri antah berantah tidak semua orang dapat berpikir sesederhana itu. Ada seorang penguasa yang siang malam berusaha untuk mencari jalan agar dapat meyakinkan seorang rakyatnya bahwa topi yang dipakai oleh yang bersangkutan bukanlah sekedar topi, tetapi merupakan simbol...dan tak tanggung-tanggung, topi itu disebutnya sebagai simbol politik! Lah..lah...piye tho...wong topi itu adalah benda universal, meskipun wujudnya berbeda-beda dan namanya bisa menjadi hut, cap, hat, atau caping...intinya ya tetap topi!

"Anda punya wajah yang menarik, mengapa harus ditutup-tutupi dengan hijab?" tanya si penguasa diplomatis.

"Anda dan semua orang tetap bisa melihat kecantikan wajah ini, hanya rambut saja yang menjadi rahasia saya," jawab si rakyat tak kalah diplomatis.

Keduanya bercakap-cakap dalam suasana penuh keakraban yang semu...

"Hm...di sini ada peraturan tak boleh berhijab...bukan karena alasan agama, tapi karena dianggap simbol politik" ujar penguasa masih dalam nada suara penuh kehangatan semunya.

"Maaf, bagi saya ini adalah simbol religius, bukan politik" argumentasi sang rakyat. Ia mengatakan yang sesungguhnya, apa yang diyakininya. Terus-terang ia terkejut mendengar pernyataan si penguasa.

"Ya, selama masih hidup di sini, Anda harus mengikuti peraturan negeri ini!" Penguasa mulai menekan, meskipun dalam nada suara yang diusahakannya tetap lembut.

Ia mulai bercerita betapa Tuhan telah menganugrahkan keindahan wajah dan tubuh pada manusia, yang tentunya untuk dinikmati oleh siapa pun, "Lantas mengapa Anda mengingkari hal itu?" tanyanya mendikte.

Masih dengan ketegarannya si rakyat menjawab, "Saya dan Anda punya pandangan berbeda mengenai itu. Tolong hormati dengan jiwa besar apa yang menjadi prinsip kita masing-masing. Saya ingin sebuah pemecahan yang terbaik di sini, Tuan." tegas si rakyat.

Sang penguasa berpikir, lalu katanya, "Apa alasan Anda menutup kepala?"

"Semata-mata alasan keimanan, religius, dan saya meyakini itu, bukan alasan politik. Selain itu, alasan kenyamanan, Tuan."

Sang penguasa masih berpikir, dan ketika terlalu lama menunggu, sang rakyat memberikan solusinya, "Tuan, peraturan tak mengizinkan pemakaian hijab, tapi tak melarang siapa pun mengenakan topi...kalau begitu saya dapat memakai topi di sini."

Sang penguasa mengernyitkan dahi..."Oke boleh kalau itu, topi...betul-betul topi ya!"

"Ya, Tuan. 100% topi biasa, tidak lebih dari itu."

"Baiklah, Anda boleh mengenakan topi. Ingat topi!" tegas sang penguasa sekali lagi.

Maka keesokan harinya sang rakyat pun mulai bertopi, benar-benar hanya topi, seperti yang dipakai orang kebanyakan. Siang harinya ia berpapasan dengan sang penguasa. Seperti biasa, si rakyat mengucapkan salam yang disambutan anggukan penuh keramahan semu oleh si penguasa. Sang rakyat pun berlalu tanpa beban, toh ia tak lagi melanggar aturan.

Selang beberapa hari setelah pertemuan singkat itu, sang penguasa memanggil kembali si rakyat bertopi.

"Ya, Tuan...apa yang akan kita bicarakan kali ini?" tanya si rakyat dengan ketenangannya.

Sang penguasa bingung hendak memulai dari mana, maka ia berputar-putar dulu pada persoalan-persoalan yang tak jelas maksudnya. Sang rakyat mulai curiga dan telah dapat menebak arah pembicaraan si tuan.

"Ya...mengenai pembicaraan tempo lalu...Anda sekarang memakai topi..."

"Ya, Tuan. Topi."

"Ya...topi Anda terlalu menutupi kepala...tak bisakah Anda memakainya dengan gaya lain, sehingga telinga Anda tak tertutup sepenuhnya dan rambut Anda dapat terlihat sedikit." sang penguasa mulai mendikte.

"Anda katakan saya boleh memakai topi, dalam bentuk apapun...inlah topi saya, Tuan."

Sang penguasa tak puas, ia merasa ditentang, "Topi Anda terlalu meutupi kepala, itu masalahnya..."

"Bukankah fungsi topi untuk meutupi kepala Tuan, selain untuk alasan mode pula?" Sang rakyat semakin tenang. Ia mendapatkan sebuah kekuatan dari keimanannya.

"Saya memberi tips pada Anda agar memperlihatkan sedikit telinga dan rambut...maka itu akan lebih membuat Anda terlihat menarik!" terdengar jelas ada penekanan pada nada bicaranya.

Sang rakyat menarik nafas panjang, "Baiklah, saya akan pertimbangkan tips Anda, Tuan. Terima kasih atas perhatian Anda!" jawabnya cerdas.

Keesokan harinya mereka berpapasan lagi dan betapa geramnya sang penguasa ketika mendapati si rakyat masih mengenakan topi dengan gaya yang sama, meskipun warnanya berbeda. Ia pun kembali uring-uringan dan mencari jalan agar si rakyat mencopot topinya. Maka dipanggilnya lagi sang rakyat menghadap.

"Ini masih masalah topi Anda.." ujarnya secara to the point membuka pembicaraan.

"Ya Tuan, mengapa rupanya dengan topi saya?"

"Anda tak boleh memakainya lagi...saya minta Anda memperlihatkan wajah Anda sepenuhnya!" kali ini tak ada nada kompromi.

"Tuanku, Anda dan semua orang masih dapat melihat wajah saya. Hanya kepala yang saya tutupi dengan topi. Setiap orang boleh memakainya...mengapa saya tidak?"

Sang penguasa geram, "Karena topi Anda adalah simbol politik. Ia mengundang keresahan di sini!"

"Bagaimana mungkin Tuan, ini adalah topi biasa, sama denagn yang dipakai orang banyak. Ini pelindung kepala dan bagi sebagian besar orang ini adalah perangkat mode. Sebuah topi tak akan mengundang keresahan, atau mungkin diri tuan sendirilah yang resah?" debat si rakyat.

"Tolong jangan mendebat lagi, alasan Anda memakainyalah yang membuatnya menjadi simbol politik...buka bentuk atau pun warna topi Anda!" Sang penguasa kini tak main-main.

"Baik kalau begitu, saya akan membukanya...tetapi tidak hari ini!" setelah itu sang rakyat berlalu dengan tetap tegar.

Malamnya, dalam sebuah dialog dengan Tuhan, sang rakyat memohon ampunan atas ketidakberdayaannya menolak hukum dunia yang picik. Itulah manusia, selalu mencari alasan bagi pembenaran kebatilan yang mereka lakukan. Biarlah mereka tertawa di muka bumi hingga gelegar tawanya menjerembabkan mereka ke dalam perut bumi yang panas, jauh...jauh...hingga ke dasarnya. Laa ilaa ha illallah...sesungguhnya kebenaran itu hanya milik Allah, SWT., maka berimanlah kepadaNya.

No comments: