Saturday, March 20, 2010


Jangan menganggap remeh makna di balik sebuah warna! Pernah dengar larangan memakai warna hijau, merah, atau kuning ketika akan berwisata ke Pantai Selatan dan wilayah berbau mistik ratu penguasa bawah laut? Sebagai orang yang merasa sangat percaya pada takdir, saya tak terlalu mengindahkan larangan-larangan serupa, karena toh maut, kelahiran, dan jodoh ada di tangan Tuhan.

Namun bila kita perhatikan, di luar konteks kemistikan, beberapa warna memang dapat mewakili perasaan-perasaan atau menjadi simbol hal-hal tertentu. Sebutlah putih yang mewakili sesuatu yanng suci, bersih, polos, dan segala hal baik. Bagaimana dengan hitam? Tentunya simbol negatif diwakili oleh warna kelam ini. Hitam juga mewakili kepedihan, kematian, keterpurukan perasaan seseorang. Sementara warna kuning mewakili keceriaan, semangat, namun di satu sisi ia dipakai sebagai simbol bendera penanda kematian. Unik memang, namun demikianlah kenyataannya... satu warna dapat mewakili sejuta makna!

Pengalaman bermasalah dengan warna saya dapatkan bersama rombongan ketika berkunjung ke Bangkok baru-baru ini. Ceritanya kami mendapat kaus seragam berwarna merah menyala dari pihak sponsor. Warna merah dipilih karena merupakan simbol produk yang mensponsori kami, selain mungkin juga mewakili semangat para peserta wisata. Namun makna warna penyimbol semangat tersebut menjadi berubah ketika kami menginjakkan kaki di Bangkok. Ternyata warna merah justru menimbulkan masalah besar di negeri Siam tersebut!

Setiap melintasi jalan, pasti ada saja yang memerhatikan kami penuh tatap curiga, bahkan seorang ibu yang berpapasan dengan rombongan ketika keluar dari stasiun MRT dengan spontan menyetop seorang teman saya dan bertanya hendak ke mana kami pergi. Begitu juga ketika kami akan memasuki obyek wisata, para petugas dengan tangkas menyetop rombongan dan bertanya apakah kami ini simpatisan partai demokrat. Untungnya pemandu wisata segera menjelaskan bahwa kami adalah rombongan turis dari Indonesia, sehingga baik si Ibu maupun petugas segera melemparkan senyum mereka. Selidik punya selidik ternyata warna merah telah dilarang keras untuk digunakan di Bangkok belakangan ini. Merah adalah warna yang menjadi simbol partai demokrat pendukung mantan PM Taksin yang belum lama ini dilengserkan. Memang betul, setelah saya perhatikan dengan seksama, tak ada seorang pun yang saya temui di jalan memakai baju atau atribut apa pun berwarna merah. Betapa hebatnya kesetiaan rakyat Thailand kepada raja mereka, sehingga bersinggungan dengan warna merah pun mereka enggan.

Demikianlah kekuatan makna sebuah warna yang telah dapat mengubah wajah sebuah bangsa. Hmm...bagaimana fenomena warna yang mewakili situasi politik bangsa Indonesia belakangan ini? Kira-kira apakah setelah kasus century warna merah dan kuning akan menjauhi si biru? Yang jelas tadi pagi saya baca di surat kabar, si merah kelihatannya memilih bermitra dengan si biru, namun tetap berusaha untuk berada di area abu-abu! Ah...ternyata tidak hanya indah, namun warna-warna juga begitu mempesona dan bergejolak jika dibawa ke ranah-ranah tertentu. Saya jadi teringat lagu Sheila Madjid dan ingin bersenandung, "Oh warna-warna bagai bicara, kuterpesona, kau teristimewa..."

Tuesday, March 16, 2010

Day 3: Heading Back to Indonesia

Usai sudah perjalanan wisata, kuliner, dan budaya para ABC Ibu Juara 2010 beserta keluarga di Bangkok. Banyak hal kami petik dari pengalaman berkunjung dan mengamati perkembangan negara sahabat ASEAN kita ini. Negeri Seribu Pagoda, Gajah Putih, dan Surga Kuliner, demikianlah berbagai label yang menempel pada Thailand. Rasanya label-label tersebut memang pantas disandang oleh Negeri Siam, berkat usaha keras dan sungguh-sungguh raja, pemerintah, dan rakyatnya dalam membangun negara mereka.

Ucapan terima kasih tak terhingga kami haturkan kepada PT. Heinz Indonesia dengan Kecap ABC-nya yang menjadi inspirasi memasak kaum Ibu Indonesia. Tak ketinggalan big thanks to Pak Kahfi dari ABC, Pak Rangga, Mbak Yeye, Pak Albar, dan Pak Meng yang telah begitu sabar dan telaten 'menjaga' kami selama program berlangsung. Terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada Chef Haryo dan Mas Rudy yang sudah menularkan ilmu memasak pada kami. Semoga Anda semua diberi kesehatan dan kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penerbangan ke Jakarta dibagi menjadi 2 kloter, namun kami kembali bertemu di Changi Airport-Singapur untuk transit dan melanjutkan perjalanan dengan Garuda sampai ke Jakarta. Sampai di Jakarta, para peserta berpisah dan berjanji akan terus menjalin tali silaturahmi. Kami bahkan sudah mengangkat Ibu Netty sebagai ketua ikatan ABC Ibu Juara 2010 dan mengatur agenda jalan-jalan di masa mendatang kembali dengan tim ABC ;-) Sejumlah negara sudah ada dalam daftar tujuan kami: Jepang, Itali, Perancis, dan Korea Selatan! Nah...tinggal mencari sponsornya saja...moga-moga ada yang berminat, bagaimana Pak Kahfi???

Day 2: The Spectacular Siam Niramit

Turun dari Tuk Tuk di depan gedung pertunjukan Siam Niramit kami segera disambut oleh seorang gadis cantik berpakaian tradisional Thailand. Sepucuk korsase anggrek ungu disematkannya pada dada kami sebagai tanda selamat datang di tempat pertunjukan tari tradisional Thailand tersebut. Setelah berfoto dengan si gadis, kami pun memasuki gedung megah berasitektur setempat itu. Rupanya rombongan segera diajak naik ke lantai dua untuk menikmati makan malam prasmanan di restoran yang menyatu dengan gedung teater Siam Niramit.

Puas bersantap, sesuai dengan arahan Pak Meng, kami segera menuju gedung teater untuk menonton show pukul 19.45. Sebelum masuk, kami diminta menitipkan kamera maupun handphone di locker, karena pertunjukan tak boleh diabadikan oleh penonton. Semua penasaran ingin segera mengetahui apa sebenarnya yang akan dipertunjukkan di dalam, karena kabarnya Siam Niramit adalah show terbaik di dunia, lagi-lagi menurut Guiness Book of Records. Maka masuklah kami dengan bersemangat bersama ratusan turis mancanegara lainnya.

Saya duduk berdampingan dengan Rizki dan mendapat tempat di sayap kiri panggung. Teater tersebut memang sangat besar karena dapat menampung setidaknya lebih dari 1000 penonton. Kursi penonton dirancang senyaman mungkin, sehingga dapat membentuk posisi tubuh dengan rileks. Ruangan didominasi warna maron dan hitam dengan pusatnya sebuah panggung besar memanjang sepanjang deretan kursi penonton dari sayap kiri ke kanan. Panggung masih tertutup tirai hitam ketika penonton mulai mengatur posisi duduk mereka dengan bantuan petugas berseragam baju Siam.

Pukul 19.45, lampu mulai dimatikan bersamaan dengan diturunkannya sebuah layar putih di tengah panggung. Beberapa baris tulisan dalam berbagai bahasa terpampang di layar putih sebagai terjemahan kisah sang seorang narator yang bertutur dalam dalam bahasa Inggris, menjelaskan tentang latar belakang pertunjukan Siam Niramit. Setelah sang narator selesai bertutur, pada layar terputar film dokumenter tentang Raja Siam dan kehidupan masyarakatnya, dengan back sound lagu kebangsaan Thailand. Hadirin diminta berdiri hingga lagu selesai dikumandangkan. Saya langsung bertanya-tanya dalam hati, kira-kira pertunjukan macam apa yang akan disuguhkan di gedung semegah ini? Bukannya apa-apa, ritualnya terasa sangat sakral dan kental akan nuansa pengkultusan sang raja, bahkan turis pun diminta ikut memberikan penghormatan kepada beliau sebelum menonton pentas malam ini. Saya teringat era sebelum reformasi di tanah air jadinya...

Akhirnya setelah cukup lama berdiri, kami pun dipersilakan duduk. Kembali sang narator memberikan prolog cerita sebagai intermezo...kemudian layar pun terkebang! Penonton langsung terpukau oleh tata panggung nan megah di depan mata! Serombongan penari kemudian muncul dengan keanggunannya dari berbagai penjuru panggung. Setting awal adalah suasana penyambutan raja dan permaisuri yang gegap gempita. Raja Siam memang sangat dicintai rakyatnya sehingga mendapat penghormatan yang demikian besarnya. Tak lama kemudian kami dikejutkan dengan kehadiran gajah di antara undakan gang antartempat duduk penonton. Semua pengisi acara tumpah ruah menari dan berinteraksi dengan penonton...sungguh sebuah awal yang sangat menarik hati.

Secara keseluruhan, Siam Niramit mengisahkan tentang sejarah kerajaan Siam hingga akhirnya berdiri negara Thailand yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis dan latar belakang sosial. Menariknya pertunjukkan ini dapat dikemas sedemikian rupa hingga menjadi tontonan seni tradisional yang sangat elegan dan tidak membosankan. Bayangkan, bagaimana penonton tak dibuat terpukau apabila panggung dapat berubah setting dalam hitungan detik. Dan tak tanggung-tanggung setting yang ditampilkan mempunyai tingkat kesulitan dan artistik yang sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, ketika kami tengah dibuai dengan setting istana, tiba-tiba panggung berganti dengan setting pesisir pantai lengkap dengan perahu bercadik melintas di atas 'laut', atau ketika segmen pedesaan, dalam hitungan detik sebuah sungai lengkap dengan perahu sampan yang tengah ditumpangi seorang biksu sudah ada di atas panggung. Tak lama berselang, turun hujan yang mengubah hamparan padi hijau menjadi menguning dan siap dipanen. Belum lagi setting surga yang luar biasa indahnya dilengkapi dengan bidadari melayang-layang di awang-awang. Tak ada kata lain yang terucap kecuali 'Spektakuler'!

Harusnya kita belajar dari Thailand dalam mengemas pariwisata dan budaya Indonesia yang tak kalah indah dan menariknya dari yang mereka miliki. Thailand tak tanggung-tanggung mengeluarkan modal besar demi menunjang sektor pariwisata mereka. Tampilan panggung Siam Niramit yang berteknologi tinggi dan sangat spektakuler tentunya disokong oleh dana yang tak sedikit. Akan tetapi saya yakin sekali hasil yang didapat sebagai devisa negara tak akan pernah berhenti mengalir dari pertunjukan berharga sekitar 700 Bath ini. Mungkin mereka yang seangkatan dengan saya ingat akan pertunjukan tari dan nyayi Swara Mahardhika garapan Guruh Soekarno Putra? Mengapa pemerintah tak mengembangkannya menjadi paket pertunjukan tradisional spektakuler layaknya Siam Niramit? Saya yakin bila digarap dengan sungguh-sungguh dan konsisten, seni budaya kita mempunyai keindahan yang lebih daripada tarian dan budaya Siam.

Usai pertunjukan, kami keluar dengan hati gembira sekaligus miris... Gembira karena terhibur oleh tarian dan tata panggung yang mengagumkan, sementara miris karena kembali melihat kenyataan betapa jauhnya kita tertinggal dari negeri Siam ini!

Sunday, March 14, 2010

Day 2: MRT Trip and Tuk Tuk Riding

Jadwal berikutnya setelah Chatuchak adalah mencoba naik MRT kota Bangkok. Hmm...hebat sekali mereka sudah memiliki MRT yang menghubungkan titik-titik kota sehingga lebih mudah dan cepat dijangkau. Kami naik MRT dari stasiun bawah tanah tak jauh dari pasar Chatuchak. Pak Meng membelikan koin plastik untuk kami semua (saya lupa menanyakan berapa harganya). Terus terang saya salut sekali akan kepesatan pembangunan di Bangkok ini, lantas teringat akan proyek MRT di Jakarta yang mati suri...kembali saya mengurut dada untuk kedua kalinya melihat kenyataan bahwa kita tertinggal cukup jauh!

Perjalanan singkat dengan MRT memberikan gambaran sekilas tentang masyarakat kota Bangkok yang terlihat sudah sangat sadar akan pentingnya menjaga kebersihan, ketertiban, dan kenyamanan sarana umum. Setiap orang tertib memasuki MRT, tak ada yang berebut. Selain itu tak terlihat satu pun coretan, sampah, juga infrastruktur rusak atau hilang dicuri di dalam MRT maupun di stasiun (bandingkan dengan kereta-kereta KRL kita yang kotor berdebu, bau pengap bahkan pesing, serta sudah kehilangan banyak sekali sabuk pegangan tangan karena dicuri). Betul-betul sebuah negara yang tengah menuju ke arah modern, baik mental manusianya maupun infrastrukturnya. Bila tak salah ingat, kami turun di stasiun keempat dari tempat kami naik tadi. Rizki dan Salim terlihat begitu bersemangat menikmati perjalanan naik MRT senja itu. Berikutnya kami dituntun Pak Meng keluar dari stsiun bawah tanah menuju ke luar untuk segera menaiki Tuk Tuk. Tujuan berikutnya adalah gedung pertunjukan Siam Niramit. Beberapa buah Tu Tuk sudah dipesan Pak Meng untuk membawa kami konvoi menuju tempat tontonan yang katanya spektakuler tersebut. Kembali kami berkjejaran dengan waktu, karena pertunjukan akan mulai pukul 19.45 sementara sebelumnya kami harus makan malam terlebih dahulu.

Tuk Tuk yang begitu terkenal memang mempunyai bentuk yang unik. Kendaraan beroda tiga ini mirip dengan bajaj, namun agak sedikit panjang, dan terbuka (tanpa pintu). Tuk Tuk yang rupanya disebut juga dengan taxi -karena pada bagian atap depannya tertera tulisan "TAXI" - telah menjadi kendaraan khas Bangkok. Inilah hebatnya Thailand! Tuk tuk pun dijadikan salah satu pesona pariwisata yang membuat penasaran para wisatawan asing, tidak seperti nasib bajaj yang semakin hari semakin punah di jalan-jalan Jakarta. Berbeda kondisi bajaj yang selalu terusir di jalan-jalan protokol, Tuk Tuk bahkan dapat melenggang bebas berdampingan dengan kendaraan bermotor lainnya di kota Bangkok. Ia dapat melaju kencang layaknya mobil dan tak menimbulkan suara bising layaknya bajaj.

Saking ngebutnya, Mbak Yeye sampai sport jantung dan berteriak, "Aduh...gue masih kepingin mantu nih, gak mau mati ngebut begini!". Teriakannya tak diindahkan oleh sang supir karena ia tak mengerti sepatahpun bahasa Indonesia...so mungkin disangkanya si penumpang kegirangan dan ingin supaya lebih ngebut lagi. Semakin keras teriakan penumpang semakin mantap si supir menancap gasnya...kalau begitu, pegangan yang kuat... "Tarrrrik Mang!!!"

Saturday, March 13, 2010

Day 2: Shop 'till you drop at Chatuchak Weekend Market

Baru saja selesai mendapat ilmu memasak sekaligus mengisi perut sepagian hingga siang hari itu, kami segera bertolak ke Chatuchak Weekend Market, untuk apa lagi kalau bukan berbelanja! Bu Rosita yang paling bersemangat tentunya memulai program shopping part 2 ini! Setibanya di sana, kami diberi kesempatan 1,5 jam untuk memuaskan hasrat belanja di area pasar yang cukup luas tersebut. Bayangkan 1,5 jam untuk mengelilingi pasar seluas itu tentulah tak cukup...kami sangat berkejaran dengan waktu!

(picture taken from www.bangkok-aktuel.de)

Chatuchak Market kalau diperhatikan rasanya sangat mirip dengan area pedagang kaki lima di di pasar Blok-M. Pasar tenda tersebut berdiri berdampingan dengan JJ Mal dan hanya digelar setiap hari Sabtu dan Minggu. Sisa uang Bath masih ada untuk berbelanja oleh-oleh, namun lagi-lagi saya merasa tidak bebas melihat-lihat karena harus memperhatikan Rizki juga. Tadinya saya bersama Mas Albar dan Mas Rudy melihat-lihat di area tenda, namun akhirnya kami memutuskan masuk ke mal saja, karena di luar panasnya sangat menyengat...lagipula Rizki mulai gelisah. Mal JJ sendiri persis seperti ITC Mangga Dua, namun lebih kecil saja. Harga-harna di dalam mal dan di tenda tak banyak berselisih, tapi soal kenyamanan tentunya kami lebih memilih yang berAC. Di sini saya akhirnya menemukan kain sutra Thailand dengan harga 280 Bath/m! Segera saya beli 3,5m sesuai pesanan teman saya.

Setelah mondar-mandir di mal, toh saya masih kebingungan juga mau membeli oleh-oleh apa...untungnya kemudian bertemu Mbak Yeye dan Bu Murni, jadi bisa mencontek belanjaan mereka! Bertiga kami memutuskan untuk hunting keripik durian, pesanan teman saya. Minta ampun sulitnya mencari panganan yang satu itu. Akhirnya kami berhasil menemukannya atas bantuan seorang pedagang yang dapat berbahasa Inggris cukup baik. Wah, ternyata harganya cukup mahal...mungkin karena tingkat pengolahannya yang sulit. Mbak Yeye dan Bu Murni juga ikut membeli beberapa kantong sebagai oleh-oleh.

Waktu menunjukkan pukul 18.00, kami sudah terlambat 30 menit dan dalam keadaan panik karena mencari Rizki dan Alim yang menghilang dari kios game komputer. Rupanya Pak Rangga yang sudah membawa mereka kembali ke bus...syukurlah, saya dan Bu Murni sangat lega. Di bus Pak Meng sudah betul-betul geram...karena menunggu peserta yang tak tepat waktu. (termasuk kami bertiga)! Untung nasib kami masih baik, belum tertinggal rombongan. Ketika sudah lewat dari 45 menit, batas toleransi menunggu sudah lewat...kasihan Bu Rosita dan Pak Baihaqi yang terpaksa kami tinggal. Mas Albar tinggal untuk membantu mencari mereka di Chatuchak Market yang luas...mungkin keduanya 'tersesat' lagi dan memutuskan untuk shop 'till they drop di sana!

Wednesday, March 10, 2010

Day 2: Our Highlight Program 'Cooking Class' @ Blue Elephant Restaurant

Saya pernah melihat program memasak berlokasi di Blue Elephant Restaurant Bangkok di saluran Discovery & Travel. Siapa nyana bila akhirnya saya sediri dan teman-teman seperjuangan ABC Ibu Juara bisa mengalami langsung kursus memasak di restauran bertaraf dunia tersebut. Kami disambut oleh Chef Sandra, putri pemilik restaurant, yang fasih berbahasa Thai, Inggris, dan Belanda. Ibunya, Chef Noor, adalah wanita asal Malaysia dan ayahnya seorang berkebangsaan Belanda. Mereka telah menetap di Thailand dan memiliki Blue Elephant Restaurat di kota Bangkok dan wilayah pantai Pattaya. Chef andalan kami, Chef Haryo, akan ikut memberikan pelajaran memasak bagi para ABC moms beserta suami dan anak yang mendampingi.

Sesi pertama adalah pelajaran memasak makanan Thailand. Chef Sandra yang mengajar dengan asistensi Chef Haryo. Wanita itu hanya sempat mengajarkan satu resep karena harus segera menuju Pattaya untuk pembukaan restoran baru mereka di sana. Chef berikutnya (lupa namanya) melanjutkan dengan 3 jenis masakan. Chef laki-laki tersebut sangat telaten dan rapi dalam mengolah masakaannya, serapi polesan foundation, bedak, dan lip gloss terakota yang tertata harmonis di wajahnya yang licin. Menurut Mbak Yeye, semut pun akan tergelincir bila mencoba berjalan di kulit wajah sang chef. Kontras sekali gayanya dengan Chef Haryo yang sigap dan berjiwa petualang alam. Chef Haryo kemudian mengisi sesi kedua dengan 4 resep modifikasi masakan Indonesia bernuansa sentuhan rasa Thailand. Seorang asisten chef Blue Elephant bertubuh moleg khas koki dalam dongeng kerajaan, membantu Chef Haryo. Kehadirannya sangat menggemaskan dan menyita perhatian kami!

Program kursus memasak tersebut berdurasi sekitar 4 jam. Setiap satu masakan selesai diajarkan oleh Chef Blue Elephant, para ibu dan pasangan harus mempraktekkannya di dapur uji. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan bagi Rizki dan anak-anak lainnya yang mendapingi sang ibu. Ternyata kami jadi tahu bahwa rahasia kekhasan masakan Thailand adalah akar ketumbar dan lada segar yang tumbuh subur di negeri itu yang mereka selalu pakai hampir dalam setiap masakan. Sesungguhnya masakan Indonesia tak kalah kelezatannya, hanya saja kita harus belajar dari negeri Siam ini bagaimana mengemas dan mengiklankan kekhasan masakan tanah air hingga dapat mendunia, seperti milik mereka!

Selesai kelas memasak, kami semua mendapat kehormatan dari Blue Elephangt dan ABC untuk menerima sertifikat 'cooking class' dan piagam penghargaan ABC Ibu Juara 2010 yang merupakan hadiah terindah dari orang-orang terkasih kami dan ABC. Usai seremonial berkesan tersebut, kami menyantap masakan hasil olahan sendiri, di ruang restoran Blue Elephant. Bu Netty, Nadia, dan Sarah sempat-sempatnya cuci mata melihat kegantengan asscort restauran yang kami duga peranakan Spanyol-Thailand dan berujung pada sesi foto bersama untuk wall paper Blackberry. Rupanya Bu Wanti, our senior citizen, tak mau ketinggalan ikut berkenalan dengan pemuda ganteng tersebut, sambil berkilah, "Kan kalau mau eksis ya harus narsis..."

Day 2: Grand Palace & Emerald Budha

Emerald Budha dan Grand Palace adalah dua tempat yang harus dikunjungi di Bangkok. Kedua bangunan tersebut mempunyai konstribusi dalam pemberian julukan 'Negeri Seribu Pagoda' bagi Thailand. Dari kejauhan, atap-atap pagoda berlapis emas dan berukir indah bunga warna-warni menyembul dari balik pagar tinggi yang mengelilingi kompleks kedua bangunan agung kota Bangkok tersebut. Pagoda-pagoda tersebut merupakan stupa-stupa kuil yang didedikasikan oleh raja bagi negeri-negeri lawan perang Kerajaan Siam di masa lampau.


Ketika memasuki gerbang utama kompleks, kami langsung disambut oleh pemandangan megah gedung Grand Palace, yang merupakan istana raja. Ketika masuk, penjagaan sangat ketat dilakukan oleh petugas. Pengunjung berbaju minim atau memperlihatkan lekukan tubuh-bahkan celana panjang mengatung yang menampakkan mata kaki pun dianggap minim- jangan diharap bisa lolos masuk ke dalam area kuil Emerald Budha! Untungnya Pak Meng sudah mewanti-wanti kami sejak hari sebelumnya, bahkan Rizki diharuskan mengganti celana bermudanya tadi sebelum berangkat. Repotnya lagi, baju seragam peserta kami yang berwarna merah menyala lagi-lagi menjadi masalah. Pak Meng harus berkali-kali menjelaskan bahwa kami bukanlah simpatisan partai republik pemberontak raja Thailand, melainkan turis-turis baik budi dari Indonesia, sahabat ASEAN mereka.


Emerald Budha tak terkatakan keindahannya...apa yang berwarna emas memanglah emas asli! Ukiran-ukiran pada undakan pagoda kuil juga terlihat sangat cantik dan beragam. Masing-masing kuil menampilkan ciri khas negara yang mewakili persembahan sang raja. Ada kuil yang bernuansakan negeri Kamboja, ada lagi yang bernuansakan corak
Melayu, dan sebagainya.
Kesemua kuil itu tegak anggun dan megah berdampingan, seolah menaungi para pengunjung aneka bangsa yang berada di bawah lindungan bayang-bayang mereka. Matahari yang bersinar sangat intensif memantulkan warna keemasan pagoda kembali ke langit yang cerah, menambah keanggunan keseluruhan kompleks Emerald Budha di pagi itu.


Setelah mengeksplorasi Emerald Budha, rombongan ABC bergerak keluar melintasi area Grand Palace, istana Raja Siam. Seorang penjaga belia berpakaian tentara kerajaan berdiri tegak di pos penjagaan, tanpa ekspresi. Bukannya ia sombong, tapi pemuda itu memang harus berdiri tegak dengan jaimnya selama 10 jam setiap hari dan tak boleh bergerak sedikit pun layaknya penjaga istana-istana lain di negara mana pun. Kami bergantian berfoto dengan sang prajurit yang malang tersebut. Bagaimana tidak malang, setengah dari waktu hidupnya ia habiskan untuk berdiri si depan pos penjagaan yang kecil itu...Melihat itu, anak-anak sekarang pasti akan berkomentar: OMG, capek dueeh...kasiaaan deh lo!!!!

Day 2: Menikmati Kenyamanan Hotel Ramada Menam Plaza

Hotel Ramada terletak di dalam area pertokoan Menam Plaza, tepat di tepi jalan raya yang mengarah ke jantung kota Bangkok. Terus terang saya pribadi sangat surprise mendapatkan fasilitas hotel sebaik itu dari ABC. Dulu saya pernah juga bermalam di salah satu hotel Ramada di kota Jeddah, namun kondisinya tak sebaik di negeri Siam ini. Rizki dan saya sangat menikmati kamar kami yang terletak di salah satu ujung lorong lantai 10 dengan pemandangan kecantikan Chaopraya River. Wat Arun Temple pun dapat kami nikmati keindahannya dari jendela kamar.

Lucunya, saya sepertinya memang sudah ditakdirkan hidup berdampingan dengan pemakaman! Sama halnya dengan di rumah BSD, kamar kami di Ramada pun berhadap-hadapan langsung dengan sebuah pemakaman yang tertata rapi. Tuhan mungkin tak ingin saya lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sejenak, masih ada kehidupan abadi yang menanti, makanya saya diberjodohkan dengan pemakaman.



Meskipun kenyamanan kamar hotel hanya bisa dinikmati barang 5-6 jam saja dalam sehari, itu pun hanya untuk tidur saja, Ramada memanjakan kami dengan pemandangan Chaopraya Rivernya di tepi restauran tempat para peserta menyantap sarapan pagi. Kami betul-betul mendapat pelayanan ala bintang-bintang Hollywood atau Bollywood ;-) Makan pagi ditemani secangkir kopi, teh, atau juice, segala makanan lezat mulai dari east sampai west, dan yang terpenting adalah atmosfir restauran dengan latar kapal-kapal berlabuh dan yang tengah lalu lalang di Chaopraya River, memberikan kesan bahwa kami tengah bersantap di negeri Monako, layaknya seorang bintang Festival Cannes.

Selesai sarapan kami segera menuju bus untuk mengikuti kegiatan hari kedua yang tak kalah padat dengan hari sebelumnya. Keberangkatan agak tertunda karena kami harus menunggu 'Sang Ratu Belanja' dan suami yang belum kunjung muncul. Pak Meng mulai spaneng...dan menentukan hukuman menyanyi satu lagu bagi yang terlambat datang. Bu Rosita dan Pak Baihaqi rupanya terlena dalam pelukan kasur empuk hotel Ramada...sampai-sampai tidak mendengar morning call jam 6 pagi tadi. Mungkin mereka kelelahan setelah 'tersasar' di Suan Lum Night Bazzar hingga melewatkan kesempatan makan pagi ala bintang Hollywood. Tapi tak apa-apa, toh masih ada jatah satu hari lagi menikmati kenyamanan dan santap pagi ala bintang di hotel Ramada...dan yang paling penting adalah kami harus membuat foto narsis di dermaga kapal Ramada dengan latar Chaopraya River sebagai stok profile picture di Facebook ;-)

Day 1: Silk & Leather Factory, Royal Dragon and Suan Lum Night Bazzar

Pak Meng dengan sigap menggiring kami kembali ke bus untuk bergegas menuju Silk and Leather factory ternama di Bangkok. Sutra Thailand memang terkenal baik kualitasnya, maka para ibu pun bersemangat untuk segera mencuci mata senja itu. Setibanya di tujuan, kami langsung disambut dan dipersilakan untuk melihat-lihat produk batu mulia, kulit, dan sutra dengan kualitas terbaik di Siam. Walah..ternyata harganya cukup mahal, walhasil hanya segelintir dari kami yang keluar dengan jinjingan belanjaan ;-) Saya sendiri mundur teratur ketika ditawari sutra dengan harga 2500 Bath/m (Rp. 750.000,-), padahal budget yang saya patok maksimal Rp. 150.000/m! "Impossible Madam, impossible..." kata seorang pramuniaga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika saya menanyakan sutra dengan budget minimal tersebut. Yo wess...saya pun menjauh dari deretan kain sutra yang menggiurkan mata dan hati itu.
Justify Full
Tak lama kami menghabiskan waktu di sana, bahkan sebagian besar peserta sudah keburu ngacir masuk ke dalam bus setelah melihat tak ada kemungkinan berbelanja di sana...maklum uang saku yang diberi ABC memang dialokasikan untuk membeli oleh-oleh partai besar, jadi harus bijaksana dalam membelanjakannya! Setelah beberapa orang (saja) selesai bertransaksi, kami segera bergerak menuju Royal Dragon Restaurant.

Rumah makan yang masuk ke dalam Guiness Book of Record sebagai restoran terluas di dunia ini sangat terkenal dengan santapan lautnya. Makan malam kali itu sangat mewah.

Sajian sea food basket lengkap dengan menu-menu lainnya terhidang di meja bundar bertaplak kotak-kotak ala western. Ini unik, karena terjadi perpaduan antara makanan khas Thailand dengan taplak ala Barat! Saya kebetulan duduk satu meja dengan Chef Haryo dan sempat berdiskusi mengapa masakan Thailand yang rasanya sangat datar bila dibandingkan dengan makanan Indonesia, begitu mendunia namanya. Menurut Cheff, justru karena datar itulah maka orang Barat lebih dapat menerimanya dengan baik ketimbang masakan Indonesia yang kaya cita rasa bumbu.

Menariknya lagi, sambil bersantap kami disuguhi atraksi tarian tradisional oleh para penari wanita. Beberapa dari kami bertaruh dan menerka-nerka mana di antara para penari tersebut yang merupakan wanita trans seksual! Maklumlah Thailand juga terkenal dengan 'wanita jadi-jadiannya' yang cantik. Selain itu, adegan tom yam terbang yang dibawa oleh seorang pelayan laki-laki sambil meluncur dengan sebuah sling yang membentang di atas kolam ikan panjang, juga disuguhkan. Meskipun makanannya terasa hambar di lidah saya, namun makan malam di Royal Dragon terasa sangat sempurna!


Usai santap malam, kami tak langsung check in ke hotel melainkan melaju ke Suan Lum Night Bazzar. Pasar malam ini persis seperti Tanah Abang Tempoe Doeloe, terdiri dari los-los kios yang cukup padat dengan aneka dagangan mulai dari kain, baju, sampai pernak-pernik sulap! Nah inilah yang ditunggu-tunggu para ibu dan bapak...surga belanja! Setiap orang diberi waktu 2 jam untuk berbelanja sepuasnya dan kembali berkumpul di bus pada jam 22.30. Jadilah malam itu malam perburuan bagi para peserta..."lupakan hutang!", demikian kata Pak Meng, maka semua pun menghabiskan rata-rata setengah dari uang saku di Suan Lum! Saya tak banyak berbelanja, karena Rizki sudah mengantuk luar biasa...ternyata malaikat kecil itu dikirim Tuhan untuk menjadi rem nafsu belanja mamanya ;-)

Seingat saya kami baru beranjak dari Suan Lum lewat dari pukul 23.00, karena Ibu Rosita dan Pak Baihaqi asal Surabaya, tak kunjung bergabung dalam bus. Sudah bisa ditebak, merekalah juaranya malam itu...sampai-sampai plastik belanjaan yang dibawa menyerupai karung hadiah Santa Klaus! "Aduh maaf...kami nyasar!" ujar Ibu Rosita. Nyasar tapi kok heboh belanjaannya??? Sejak malam itu kami menjulukinya "Ratu Belanja"!

Tuesday, March 9, 2010

Bangkok Day 1: Chaopraya River & Wat Arun Temple

Di atas kapal menelusuri Chaopraya River

Sungai Chaopraya adalah tujuan pertama wisata kami siang itu, setelah melahap sup tom yam asli Siam sebagai menu utama makan siang di sebuah restoran muslim, tak jauh dari bandara Suwannabhumi. Jam menunjukkan pukul 14.30 an (tak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok), ketika kami bergerak melewati pasar makanan di sepanjang gang menuju pangkalan perahu yang akan membawa kami ke Sungai Chaopraya. Rizki masih belum terlalu sadar dari tidurnya yang cukup nyenyak tadi di bus. Wajahnya masih mengantuk dan ia menggerutu sepanjang jalan. Gerutunya hilang ketika sampai di galangan kapal dan meneguk sekaleng minuman dingin.

Wat Arun Temple terlihat dari tengah Chaopraya River

Kami segera melompat ke dalam perahu kayu bermotor yang bertuliskan aksara Thailand pada badannya. Matahari bersinar terik, temperatur hari itu sekitar 39-40 derajat celcius di Bangkok, parahnya lagi tak ada angin berhembus yang mungkin dapat agak meredakan panasnya siang itu. Kapal bergerak membawa rombongan menjelajahi sungai Chaopraya yang dikelilingi pemandangan cukup indah dan syahdu. Atap-atap kuil berbentuk pagoda menyembul di sela gedung-gedung yang tak terlalu menjulang tingginya. Beda betul dengan pemandangan kota metropolitan Jakarta yang padat akan gedung pencakar langit.

Pak Meng, sang guide, menceritakan berbagai hal seputar Chaopraya River tersebut, diantaranya mitos tentang ikan patin putih sakral (dianggap sebagai dewa) dan dapat mengabulkan permintaan orang yang dapat memancingnya keluar dengan umpan roti yang dijual di atas perahu. Ikan-ikan patin yang jumlahnya ratusan itu berenang di sekitar tepian Wat Arun Temple, kuil tertua di Bangkok. Teman kami, Ibu Dian, dari Surabaya, berhasil memancing keluar ikan patin dewa tersebut dan sangat berharap bahwa impiannya untuk segera mendapatkan anak kedua dapat terwujud.

Ibu Juara ABC ayo seyum...seyum...

Kapal berlabuh di tepi Wat Arun Temple. Kuil tua itu berdiri megah menjulang di bawah kaki langit kota Bangkok. Ratusan burung dara menyambut kami di tangga tepi pangkalan tempat kapal berlabuh. Bunyi gemerincing ribuan lonceng kecil di sekeliling mahkota-mahkota pagoda Wat Arun meningkahi sapuan angin sore yang mulai berhembus malu-malu. Sayang kami tak banyak waktu hingga hanya sempat berfoto di depannya saja. Uniknya, para pedagang di kompleks kuil tersebut sangat senang pada turis Indonesia, sehingga kami semua mendapat suvenir kipas cuma-cuma! Sebelum beranjak meninggalkan kuil,
rombongan kami mengabadikan momen tersebut dengan menggelar spanduk Ibu Juara ABC. Sang fotografer beserta asistennya memberi aba-aba: "Ibu...seyum...seyum...sekali lagi seyum....!!!!" Ha..ha.. kami pun bukan cuma ter'seyum' tapi tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya ;-)

Sunday, March 7, 2010

Bangkok Day 1: Get Ready for the Cultural and Cullinary Trip

Bandara Soekarno-Hatta Jakarta heading to Suwannabhumi Airpot Bangkok

Jumat, 5 Maret pagi buta jam 3.30, Rizki dan saya telah dijemput di rumah oleh panitia penyelenggara untuk segera menuju Bandara Soekarno-Hatta mengejar flight pukul 9 ke Bangkok. Kami manut saja, meskipun rasanya terlalu pagi, namun memang demikianlah jadwal yang harus diikuti oleh peserta ABC Ibu Juara 2010.

Tiba di airport jam 04.45, ternyata sudah menunggu Ibu Wanti -peserta tersenior- dan anak gadisnya, Putri, asal Depok. Tak tanggung-tanggung mereka sudah menunggu di sana sejak pukul 4 pagi! Bu Wanti berkelakar bahwa ialah yang mengepel lantai Terminal 2E pagi itu ;-) Saya mulai merasakan kegembiraan berjumpa teman baru, begitu juga dengan Rizki. Pukul 5.30 Ibu Netty Gan dan Nadia, putrinya, bersama Ibu Hedy dan putrinya, Sarah, tiba dan menambah kesemarakan canda kami pagi itu. Mereka adalah peserta dari Bekasi. Kami segera bergurau dan menjadi akrab. Waktu menunggu yang cukup panjang jadi tak terasa karena ditingkahi canda dan tawa kami. Pukul 8 barulah seluruh peserta dari luar Jabodetabek datang bersama panitia penyelenggara dan Cheff Haryo yang kehadirannya tidak diinformasikan pada kami sebelumnya. Entah mengapa, kami sangat cepat menjadi akrab satu sama lain. Belum apa-apa kami sudah saling melempar joke dan celaan guyon yang memancing tawa hingga terpingkal-pingkal.


Jam 9.40 pesawat take off bertolak menuju Bangkok. Penerbangan dengan GA 866 memakan waktu 3 jam. Sepanjang jalan Rizki tampak antusias menonton film dan mondar-mandir ke tempat duduk peserta yang lain. Tepat pukul 12.40 pesawat mendarat di Suwannabhumi Airport, Bangkok, yang sangat mengagumkan. Seingat saya dulu pada tahun 2000 ketika transit di sini, kondisinya masih lebih buruk daripada bandara di Jogja, namun kini saya tercengang akan perubahan drastis yang terlihat di sana! Suwannabhumi berubah menjadi bangunan modern nan megah dan bersih. Teringat saya akan tanah air, lalu mengurut dada...kapan Indonesia tercinta akan lebih maju seperti negeri Siam ini?

Lepas cek imigrasi, kami segera diajak berwisata oleh Pak Meng, seorang guide asli Thailand namun pandai berbahasa Melayu, dengan mengendarai bus pariwisata berbadan tinggi besar layaknya double decker, hanya saja bagian bawahnya menjadi bagasi koper-koper kami. Hmm...inilah Bangkok, negeri seribu Pagoda yang kekhasan budaya dan kulinernya telah mendunia! Bersama kawan-kawan baru kami, Rizki- sang malaikat kecilku- dan saya tergoda untuk segera menjelajahinya...