Friday, February 19, 2010
Jujurnya Anak-Anak...;-)
Hari Rabu yang lalu, sebuah tim agency datang berkunjung ke rumah kami dalam rangka shooting video family profile yang disponsori oleh sebuah produk multinasional. Keluarga kami kebetulan masuk ke dalam 20 besar semifinalis kompetisi keluarga yang digelar oleh perusahaan itu, sehingga family profile tersebut akan menjadi salah satu pertimbangan dalam penilaian babak selanjutnya. Meskipun hal itu merupakan sebuah peristiwa penting bagi kami, namun jujur tak ada persiapan khusus yang dilakukan, termasuk mengarahkan anak-anak untuk begini dan begitu...jadi seluruh anggota keluarga tampil apa adanya saja.
Nah, rupanya shooting dibagi menjadi beberapa segmen, di antaranya adalah wawancara masing-masing anggota keluarga, termasuk anak-anak tentunya. Pertanyaan-pertanyaan awal cukup ringan, seputar aktivitas keluarga, dan peran orangtua dalam mendidik anak dan menjalankan rumah tangga. Pada bagian berikutnya, tallent couch yang bertindak sebagai pewawancara menanyakan pertanyaan khusus bagi anak-anak saja, orangtua tak boleh ikut menjawab atau mengarahkan mereka. Nah... kondisi ini cukup kritis, karena anak-anak selalu berkata jujur, jadi kami pun bersiap-siap mendengar hal-hal yang bersifat privat akan terungkap ke permukaan!
Betul saja! Ketika ditanya "Siapa yang paling galak, Mama atau Papa?" maka si sulung angkat bicara, "Papa!"
"Bagaimana galaknya?" cecar si om.
"Itu loh kalau Abang gak bisa matematika, Papa pasti marahin Abang: Kenapa sih...kok nggak bisa! Matanya melotot lagi!" Sang adik bahkan memberikan contoh 'mata melotot' papanya, diiringi wajah meringis suami saya dan tawa kru yang hadir di rumah kami. Saya sendiri jadi deg-degan...karena bukan tidak mungkin akan ada kejutan lain yang kali ini akan menyinggung 'si mama'.
Betul saja! Ketika si Bungsu ditanya, "Kalau Mama galak nggak?" dengan cepat ia menjawab, "Iya!" waduh...saya jadi was-was.
"Bagaimana galaknya?" tanya si Om penuh selidik.
"Mama marah kalau kita nggak sholat...Adek pernah satu kali disabet pakai ikat pinggang loh, begini ni Om..'bet', tapi nggak sakit sih!" si Bungsu Rayhan yang sangat ekspresif menjelaskan sambil tertawa terpingkal-pingkal karena para kru juga tertawa menyaksikan aksinya.
"Tapi Abang nggak pernah, itu karena Adek yang susah diatur!" Si Abang ambil suara.
"Ia, Abang rajin sholatnya Om..." puji Sang Adik bangga.
Saya jadi salting...sambil kembali mengingat kapan ya peristiwa itu terjadi? "Oh...ia, itu karena Adek susah sekali sholat, lari-lari...tapi 'kan nggak keras Mama kasih ikat pinggangnya...cuma supaya menurut aja..." jelas saya mencoba meluruskan kalau-kalau ada pardigma negatif dari para kru.
Syukurnya semua yang hadir sore itu menanggapinya positif, bahkan si om membela saya, "Tuh, Mama dan Papa 'kan marah ada sebabnya...dan tujuannya supaya Abang dan Adek jadi disiplin!" Saya dan suami mesem-mesem mendengarnya, sementara kedua jagoan kami mengangguk setuju.
Jujur sejujur-jujurnya, semua itu kami lakukan dalam batas-batas peringatan saja, tidak ada niatan untuk menyakiti anak, bahkan segaris luka pun tak timbul olehnya. Bagaimana mungkin...mengandung, melahirkan, dan membesarkan mereka saja saya lakoni dengan susah payah, masa sudah besar mau disakiti...Nauzubillah min Zalik! Selain itu, apa yang kami lakukan juga ada landasan aturannya, yaitu ajaran agama. Anak saya sendiri yang mengatakan pada saya pada suatu malam, selepas mereka sholat Isya di masjid, "Ma, kata Pak Ustad, anak berusia 7 tahun kalau tidak mau sholat boleh disabet pantatnya dengan ikat pinggang!" Maka marilah kita didik mereka untuk konsekuen, sehingga mereka tak menyepelekan perintah Tuhan. Semua itu kami lakukan semata-mata untuk kebaikan kedua buah hati, tak ada niatan untuk menutup-nutupi, namun siapa sangka kejujuran dan kepolosan keduanyalah yang mengungkap 'our little rules' itu ke permukaan.
We love you and very proud of you both, sons...peliharalah kejujuran dan keimanan kalian dalam mengarungi kehidupan ini!
Bersyukur atas Rezeki Ilmu Pengetahuan
Suatu hari, kedua anak lelaki saya pulang dari sholat subuh dengan sepotong kutipan ceramah ustad pagi itu yang rupanya sangat mengena di hati mereka.
"Ma, tadi kata pak ustad, kita harus berterima kasih kepada Allah setiap waktu," si sulung memulai kisahnya. Adiknya, Rayhan, menyimak perkataan sang abang.
Saya menaruh perhatian yang dalam, karena jarang sekali mereka melaporkan isi khotbah, pasti kali ini sangat menarik,"Ya, betul itu Bang, kita harus bersyukur kepada Allah atas semua rezeki yang diberi."
"Iya Ma, kata pak ustad bukan cuma rezeki uang dan kesehatan loh, tapi juga rezeki..."kalimat Rizki belum lagi selesai ketika adiknya ikut menyambar, "Ilmu pengetahuan!" ujar mereka hampir bersamaan.
Subhanallah...keharuan menyelimuti perasaan saya pagi itu. Selain itu, saya pun jadi terhentak menyadari betapa selama ini rasanya doa-doa yang terpanjatkan dan ucapan syukur yang mengalir hanya melulu seputar rezeki materi dan kesehatan...rezeki ilmu pengetahuan yang diberikan Allah seolah memang merupakan hasil usaha diri ini sendiri...Astagfirullahhalaziim.
Saya segera membenarkan perkataan ustad yang sangat mengena bagi kedua bocah itu. Kami lalu kembali membicarakan lebih jauh mengenai rezeki ilmu yang diberikan Allah kepada mereka berdua. Abang dengan bangganya mengatakan Allah telah memberinya kepandaian dalam memecahkan soal matematika, selain itu karena rezeki ilmu ia juga dapat berbahasa Jerman, bermain gitar, berenang, dan mengoperasikan komputer. Rayhan tak mau kalah, ia dapat membaca dan berhitung juga karena rezeki ilmu dari Allah. Namun tak lupa saya tekankan bahwa, rezeki yang diberikan tak akan berguna bila manusianya tidak mau berusaha belajar dan menambah ilmu dari waktu ke waktu. Subhanallah keduanya sepakat dan semakin giat belajar karena tak ingin rezeki ilmu pengetahuannya dicabut oleh Allah.
Malu juga rasanya mendapat teguran Allah lewat kedua buah hati saya yang masih sangat belia, karena selama ini telah melupakan campur tangan Dia dalam proses penggalian ilmu yang belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu Sang Khalik. Kembali saya menghitung-hitung berapa besar rezeki ilmu pengetahuan yang telah saya dapatkan dari Allah, SWT. Ilmu mengajar, berbicara, menulis, mendidik anak, agama, dan masih banyak lagi adalah pemberian Allah semata, lewat usaha-usaha yang saya lakukan sebagai hambanya di muka bumi. Betapa bersyukurnya saya atas rezeki ilmu pengetahuan yang telah diberikanNya selama ini. Kini dalam setiap doa yang saya panjatkan, Insyaallah tak 'kan luput saya haturkan terima kasih atas rezeki ilmu pengetahuan yang telah Allah berikan pada kami, sambil tetap meminta padaNya agar diri ini mampu dan mau berusaha tanpa kenal lelah dalam meningkatkan pengetahuan, yang menjadi rahasia Sang Khalik, yang terserak di muka bumi. Allahuakbar, Allah Maha Besar. Rabbi zidni 'ilma war zukni fahma, Amin Yaa Rabbal Aalamin.
Perspective Changing
Baru saja saya mendapat telepon dari seorang teman lama semasa sekolah dulu. Awalnya saya tak mengenali suaranya-apalagi dia pakai acara berteka-teki segala- namun lama-kelamaan warna suaranya mulai terdeteksi, dan saya sebut saja namanya: Ismu!
"Ha..ha..ha..tau aja lu!" sahutnya membenarkan tebakan saya.
Jelas saya tahu sekali suaranya, karena hampir satu tahun di kelas 3 SMP dulu, bangku kami posisinya berpunggungan, sehingga seringkali terjadi transaksi peminjaman alat-alat tulis di antara kami. Namun demikian saya sempat kaget juga, karena bila dulu Ismu termasuk golongan anak pendiam dan tak banyak bicara, tadi justru ialah yang mendominasi pembicaraan kami. Cara berbicaranya pun sangat teratur, diplomatis, dan mengandung kepercayaan diri yang tinggi!
Kami sempat bertukar pengalaman hidup selepas masa kuliah tadi. Kebetulan dulu kami pun satu kampus, di sastra UI-Depok. Ismu sempat kaget juga mengetahui bahwa saya sekarang lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan keluarga atau teman, tak tergiur oleh budaya konsumtif masyarakat urban kini, dan sangat cinta kesederhanaan.
"Kasian banget deh Lu...masa nggak punya BB sih?" tanyanya terkaget-kaget.
"Bukannya anti Mu, tapi orientasi hidup gue nggak ke situ...saat ini rasanya gue belum butuh teknologi HP secanggih itu, lagipula gue tetap terupdate info-info kok lewat FB misalnya, atau teman-teman kabarin lewat sms, buat gue itu sudah cukup." demikian jawaban jujur saya.
Saya dan dia akhirnya jadi menganalisis perubahan perspektif yang telah secara tak langsung mengubah gaya dan orientasi hidup kami kini. Kesimpulannya, Ismu mengatakan ia harus merubah perspektifnya karena tuntutan pekerjaannya di bidang jasa memintanya untuk tampil lebih percaya diri, supel, dan mampu mempengaruhi klien. Maka jadilah Ismu versi baru yang sangat supel dan percaya diri. Sementara saya sendiri mengalami perubahan perspektif ketika berkesempatan tinggal di Jerman dan kini bekerja di lingkungan para ekspatriat dari negara tersebut. Efisiensi, efektivitas, dan budaya hidup tidak konsumtif kini banyak mengarahkan saya pada sebuah gaya hidup dan cara berpikir baru yang mungkin membuat kaget beberapa teman. Tapi kami tadi sepakat bahwa sejauh perubahan-perubahan itu mengarah pada hal positif dan membuat lebih bahagia, maka berarti perspektif yang dianut adalah yang sudah cukup baik atau tepat bagi kita.
Tak terasa perbincangan singkat dengan teman lama tadi cukup membuat saya berefleksi sejenak tentang perjalanan hidup ini. Meskipun ditutup dengan sebuah promosi produk oleh Ismu, saya tidak lantas jadi jengkel padanya, karena perubahan perspektif yang membuat teman saya itu menjadi sosok supel dan penuh percaya diri telah membuat saya bangga dan tutut mensupport usahanya. Good luck my pal!
Tuesday, February 9, 2010
Banting Setir
Jenuh akan rutinitas, tak cocok lagi dengan rekan kerja, tidak puas akan kondisi dan fasilitas, atau muncul konflik bertentangan dengan hati nurani, adalah beberapa hal yang biasanya menyebabkan seseorang untuk mencari sebuah tantangan baru dalam pekerjaan. Maka tak heran bila dalam sebuah institusi yang berorientasi 'profit' maupun 'non-profit', masalah 'turn offer' pegawai cukup membuat kelimpungan manajemen. Tetapi mau bagaimana lagi, memang demikianlah sifat dasar manusia: tak pernah puas dan selalu mencari yang terbaik dalam hidup. Tak ada yang salah dengan sikap tersebut, selama memang didasari dengan alasan yang positif dan tak merugikan pihak-pihak lain.
Terus-terang saja, saya buka kartu di sini...Dulu, selepas kuliah, saya pernah bekerja pada sebuah perusahaan Jepang. Etos kerja yang memandang perempuan hanya bisa melakukan hal remeh, membuat saya segera hengkang dari perusahaan tersebut. Sejak itu, saya mulai mempunyai satu tolok ukur pekerjaan jenis apa yang harus digeluti. Namun ternyata kisahnya tak semulus yang saya bayangkan, di perusahaan kedua, ketika tengah semangat-semangatnya menggeluti bidang' marketing communication', badai krisis menerpa tanah air secara global. Perusahaan gulung tikar, kami semua di-PHK. 'But life must go on', kembali saya bangkit dan berpindah kerja sebanyak 2 kali lagi! Maka saat itu saya sempat menyandang label 'kutu loncat'. Bagaimana tidak, dalam waktu kurang dari 3 tahun, saya berpindah tempat kerja sebanyak 4 kali! Mungkin bila dulu sudah menjamur komunitas-komunitas sosial seperti sekarang ini, tentunya para 'kutu loncat' seperti saya pun punya komunitas yang luas.
Pengalaman 'kutu loncat' di masa dulu adalah sekelumit gambaran anak muda yang masih mempunyai semangat dan ambisi menggebu untuk mencoba tantangan-tantangan baru dalam hidup. "Nothing to loose' selalu menjadi prinsip nomor satu saat itu. Tak ada yang harus ditanggung, kecuali diri sendiri, kalau pun masih kurang...orangtua selalu siap membantu. Namun setelah menikah dan punya anak, kisahnya menjadi lain. Orientasi bekerja adalah untuk menopang hidup, bukan lagi untuk mencari tantangan yang mampu memacu adrenalin hingga ke puncaknya! Rasio mengemudikan perasaan, sehingga segala kendala yang masih bisa dicerna dengan logika akhirnya dapat berakhir dengan solusi 'harap maklum'. Namun bukan berarti semangat kerja jadi meredup kawan, meski tak mengejar karier, namun prestasi tetap harus diukir!
Kini, sejalan dengan bergulirnya sang waktu dan usia, bila memang terjadi 'migrasi pekerjaan' -mencoba memperhalus istilah- label 'kutu loncat' pun mulai luruh...berganti dengan label 'banting setir'. Saya rasa transformasi label ini tepat karena 'kutu loncat' mempunyai tendensi perpindahan yang didorong oleh ambisi yang meletup-letup, maka 'banting setir' mengandung makna perpindahan dengan penuh kepasrahan dan pemikiran yang matang. Bila ketika muda dulu perselisihan kecil saja dengan teman kerja sudah mampu mendorong seseorang bermigrasi ke perusahaan lain, maka sekarang alasan-alasan lebih hakiki, seperti pertentangan prinsip kepercayaan yang berorientasi pada masalah keimanan dan tak kunjung menemukan 'win-win solution' misalnya, baru akan menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk 'banting setir' ke ranah rezeki yang lain. Wallahualam, hanya Tuhan yang tahu ke muara rizki mana hidup ini akan disetirNYa. Maka berikhtiarlah dan Insyaallah itulah akhir yang terbaik bagi kita.
Thursday, February 4, 2010
Bakat VS Kemauan
'Tak punya bakat' biasanya selalu dijadikan alasan bagi banyak orang sebagai bentuk pembetulan sebuah ketidakmauan untuk berusaha lebih keras lagi dalam mengerjakan suatu keterampilan. Memang ada beberapa keterampilan yang kelihatannya hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang punya bakat, padahal sebenarnya tidak demikian sepenuhnya.
Saya selalu katakan kepada diri sendiri, anak-anak, murid-murid, dan keponakan-keponakan, bahwa hal yang paling dibutuhkan untuk memulai sesuatu adaalah 'kemauan'. There is a way when there is a will, and if you have tallent...then it's a bonus from God!
Banyak keterampilan yang dapat kita kembangkan bila ada kemauan, mulai dari yang sangat sederhana dan tak memerlukan biaya hingga yang rumit, sampai yang menguras dana cukup banyak. Apa yang menjadi pilihan kita, tentunya yang memang betul-betul kita minati untuk dikembangkan, tetapi selanjutnya harus juga melihat kemampuan secara fisik dan materi. Mari kita ambil sebuah contoh populer: keterampilan bersepeda, yang sekarang tengah diminati oleh kalangan muda dan tua. Selain menguras banyak tenaga, bersepeda kini menjadi sebuah hobi yang menguras tak sedikit biaya. Namun toh semuanya kembali kepada pilihan dan kemampuan masing-masing. Tetapi di atas segalanya, tentu harus muncul kemauan terlebih dahulu untuk mengenalnya.
Mari kita tinggalkan contoh keterampilan bersepeda dan beralih pada keterampilan lain yang sangat sederhana, mendasar, dan saya yakin hampir dapat dilakukan oleh semua orang, asalkan ada kemauan untuk memulainya! Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menulis! Bila kita renungkan, keterampilan menulis sebenarnya sangat sederhana untuk ditekuni. Jangan belum apa-apa sudah membayangkan kesulitannya, tetapi mulailah dengan meyakini kesederhanaannya.
Saya tak tahu persis berapa angka penyandang buta huruf di Indonesia, tetapi paling tidak catatan ini difokuskan bagi kelompok manusia yang dapat membaca dan menulis, tanpa penggolongkan usia. Tentu kelompok ini lebih banyak jumlahnya dibandingkan golongan yang kurang beruntung tersebut di atas. Nah, inilah yang harus digali dan disulut kemauannya untuk menulis. Tak usah memusingkan terlebih dahulu teori-teori tentang penulisan untuk menyulut kemauan menulis seseorang, namun awalilah dengan mengembangkan imajinasi sederhana, sehingga tak ada keragu-raguan untuk memulainya.
Pernah suatu kali saya memberikan materi menulis wacana deskripsi kepada murid-murid SMP kelas 8. Awalnya mereka tak bisa memulai sedikitpun karena belum saya berikan teori mendetil mengenai wacana tersebut, hanya gambaran umumnya saja yang dijelaskan. Ketika waktu 10 menit berlalu tanpa ada coretan satu huruf pun di atas kertas, maka saya meminta mereka meletakkan alat tulis sejenak dan menarik nafas dalam-dalam. Tahapan berikutnya, saya meminta mereka memejamkan mata, duduk dengan posisi nyaman, dan mengatur nafas dengan baik. Setelah itu mereka saya minta mendengarkan bunyi yang dihasilkan dari media-media sederhana, seperti gelas, sendok, kertas, dan sebagainya. Ketika selembar kertas diremukkan dan menghasilkan suara kemerisik, maka saya meminta mereka untuk mengimajinasikan suara tersebut ke dalam bentuk-bentuk kata sifat, keadaan, perasaan, dan hal-hal lain yang terlintas pada saat suara itu terdengar. Demikian seterusnya kami lanjutkan eksperimen dengan pengimajian dan penginterpretasian bunyi-bunyi lainnya.
Hasilnya ternyata luar biasa! Ketika satu-persatu mengungkapkan imajinasi terhadap bunyi yang diperdengarkan tersebut, ide-ide indah, orisinal, bahkan ekstrem meluncur dengan lancarnya secara verbal. Maka setelah kami berdiskusi dan saling memberikan masukan, mulailah mereka merangkum imaji-imaji tersebut dalam sebuah tulisan deskripsi bebas, yang memiliki kekayaan ide dan gaya bahasa. Meskipun masih memerlukan perbaikan secara ramatik dan pengembangan teknik penulisan, toh mereka telah berhasil mendobrak momok 'tak punya bakat' yang selama ini dijadikan alasan untuk tak mau mencoba menulis.
Keterampilan menulis tak boleh berhenti di tengah jalan, mati suri, atau tak bangkit kembali dari tidur panjang seseorang. Ia adalah sesuatu yang harus dikembangkan secara berkesinambungan. Akan lebih sempurna apabila keterampilan menulis ini dibarengi dengan keterampilan membaca sastra dan wacana yang dapat memperluas wawasan. Membaca akan memperluas wawasan seseorang dalam melihat dan menyikapi segala bentuk permasalahan. Disamping itu membaca sastra diyakini dapat melatih kepekaan naluri seseorang, yang tentunya diharapkan dapat membentuk pribadi positif dalam menyikapi berbagai hal. Sayangnya, dewasa ini pengajaran keterampilan membaca, khususnya bacaan sastra, semakin minimal diberikan di tingkat pendidikan dasar hingga lanjutan di sekolah-sekolah tanah air. Materi pengajaran Bahasa Indonesia masih difokuskan pada tata bahasa, tanpa memperluas penerapannya dalam mengembangkan keempat keterampilan berbahasa; menulis, membaca, mendengarkan, dan berbicara. Padahal di jenjang usia inilah anak-anak harus kita sulut kemauan dan kemampuan mereka dalam keempat aspek keterampilan tersebut. Mungkin hal ini ada kaitannya dengan pola 'pencapaian hasil akhir' dalam ujian akhir, sementara 'proses belajar' hanyalah sekedar aksesoris lesson plan dan menjadi prioritas nomor kesekian dalam target pengajaran Bahasa Indonesia. Bahkan setelah sempat menggembirakan berganti nama menjadi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, kini ia bertransformasi kembali menjadi hanya 'Pelajaran Bahasa Indonesia'. Sangat disayangkan apabila kita tak mampu mengembangkan potensi dasar kebahasaan yang amat sederhana ini, sedini mungkin.
Kembali ke pokok pembicaraan utama dari catatan ini, maka sudah saatnya kita mencoba membuang jauh-jauh alasan 'tak punya bakat' dalam menulis. Seperti sudah saya paparkan di atas, bahwa bila ada kemauan pasti akan ada jalan, dan apabila kita diberikan talenta, maka itu adalah sebuah bonus dari Tuhan. Tetapi harus pula diingat, bahwa talenta yang tak diproses sama saja bohong, karena ia tak muncul ke permukaan sehingga tak terlihat wujudnya. Sebaliknya kemauan yang kuat dan sungguh-sungguh dikembangkan, maka sama halnya dengan kilauan permata, ia akan muncul ke permukaan, semakin bersinar dari hari ke hari, dan setiap orang akan terpana mengagumi keindahannya. Bahkan bila semakin diasah, kilaunya akan mampu memberikan inspirasi bagi orang lain dan bukannya tak mungkin dapat menguak kabut gelap yang menyelimuti bangsa ini. Semoga!
Wednesday, February 3, 2010
'Topi' pun baginya Simbol Politik
Topi saya bundar,
Bundar topi saya,
Kalau tidak bundar,
Bukan topi saya!
Ingat 'kan syair lagu "Topi Saya" yang sering kita nyanyikan dulu ketika masih kanak-kanak? Kini lagu itu jarang sekali terdengar, atau bahkan mungkin sudah tak pernah diajarkan lagi oleh guru-guru TK sekarang? Entahlah...yang jelas bukan eksistensi lagu itu yang ingin saya bicarakan di sini, tapi justru 'topi' sebagai objek utamanya.
Sekilas rasanya kok si penulis syair lagu mempermasalahkan betul ya bentuk topi bundar yang adalah miliknya. Kalau tidak bundar, ya bukan topi dia. Jadi topinya haruslah topi yang bundar saja! Ada apa dengan topi bundar? Lah kok saya jadi terkecoh, di mana-mana topi ya memang harus bundar...kalau kotak atau segitiga, bagaimanan caranya memasukkan kepala kita ke dalamnya? Meskipun berbentuk segitiga atau kotak atau seperti roket sekalipun, tentulah topi itu harus mempunyai dasar yang bundar sehingga kepala dapat memakainya...kecuali kalau memang ada bentuk kepala yang segitiga atau persegi empat, maka orang yang bersangkutan harus memesan topi khusus baginya.
Nah, demikianlah seharusnya kita memaknai topi: sebuah benda bundar yang dipakai sebagai alat pelindung atau semata untuk alasan mode. Namun ternyata, di sebuah negeri antah berantah tidak semua orang dapat berpikir sesederhana itu. Ada seorang penguasa yang siang malam berusaha untuk mencari jalan agar dapat meyakinkan seorang rakyatnya bahwa topi yang dipakai oleh yang bersangkutan bukanlah sekedar topi, tetapi merupakan simbol...dan tak tanggung-tanggung, topi itu disebutnya sebagai simbol politik! Lah..lah...piye tho...wong topi itu adalah benda universal, meskipun wujudnya berbeda-beda dan namanya bisa menjadi hut, cap, hat, atau caping...intinya ya tetap topi!
"Anda punya wajah yang menarik, mengapa harus ditutup-tutupi dengan hijab?" tanya si penguasa diplomatis.
"Anda dan semua orang tetap bisa melihat kecantikan wajah ini, hanya rambut saja yang menjadi rahasia saya," jawab si rakyat tak kalah diplomatis.
Keduanya bercakap-cakap dalam suasana penuh keakraban yang semu...
"Hm...di sini ada peraturan tak boleh berhijab...bukan karena alasan agama, tapi karena dianggap simbol politik" ujar penguasa masih dalam nada suara penuh kehangatan semunya.
"Maaf, bagi saya ini adalah simbol religius, bukan politik" argumentasi sang rakyat. Ia mengatakan yang sesungguhnya, apa yang diyakininya. Terus-terang ia terkejut mendengar pernyataan si penguasa.
"Ya, selama masih hidup di sini, Anda harus mengikuti peraturan negeri ini!" Penguasa mulai menekan, meskipun dalam nada suara yang diusahakannya tetap lembut.
Ia mulai bercerita betapa Tuhan telah menganugrahkan keindahan wajah dan tubuh pada manusia, yang tentunya untuk dinikmati oleh siapa pun, "Lantas mengapa Anda mengingkari hal itu?" tanyanya mendikte.
Masih dengan ketegarannya si rakyat menjawab, "Saya dan Anda punya pandangan berbeda mengenai itu. Tolong hormati dengan jiwa besar apa yang menjadi prinsip kita masing-masing. Saya ingin sebuah pemecahan yang terbaik di sini, Tuan." tegas si rakyat.
Sang penguasa berpikir, lalu katanya, "Apa alasan Anda menutup kepala?"
"Semata-mata alasan keimanan, religius, dan saya meyakini itu, bukan alasan politik. Selain itu, alasan kenyamanan, Tuan."
Sang penguasa masih berpikir, dan ketika terlalu lama menunggu, sang rakyat memberikan solusinya, "Tuan, peraturan tak mengizinkan pemakaian hijab, tapi tak melarang siapa pun mengenakan topi...kalau begitu saya dapat memakai topi di sini."
Sang penguasa mengernyitkan dahi..."Oke boleh kalau itu, topi...betul-betul topi ya!"
"Ya, Tuan. 100% topi biasa, tidak lebih dari itu."
"Baiklah, Anda boleh mengenakan topi. Ingat topi!" tegas sang penguasa sekali lagi.
Maka keesokan harinya sang rakyat pun mulai bertopi, benar-benar hanya topi, seperti yang dipakai orang kebanyakan. Siang harinya ia berpapasan dengan sang penguasa. Seperti biasa, si rakyat mengucapkan salam yang disambutan anggukan penuh keramahan semu oleh si penguasa. Sang rakyat pun berlalu tanpa beban, toh ia tak lagi melanggar aturan.
Selang beberapa hari setelah pertemuan singkat itu, sang penguasa memanggil kembali si rakyat bertopi.
"Ya, Tuan...apa yang akan kita bicarakan kali ini?" tanya si rakyat dengan ketenangannya.
Sang penguasa bingung hendak memulai dari mana, maka ia berputar-putar dulu pada persoalan-persoalan yang tak jelas maksudnya. Sang rakyat mulai curiga dan telah dapat menebak arah pembicaraan si tuan.
"Ya...mengenai pembicaraan tempo lalu...Anda sekarang memakai topi..."
"Ya, Tuan. Topi."
"Ya...topi Anda terlalu menutupi kepala...tak bisakah Anda memakainya dengan gaya lain, sehingga telinga Anda tak tertutup sepenuhnya dan rambut Anda dapat terlihat sedikit." sang penguasa mulai mendikte.
"Anda katakan saya boleh memakai topi, dalam bentuk apapun...inlah topi saya, Tuan."
Sang penguasa tak puas, ia merasa ditentang, "Topi Anda terlalu meutupi kepala, itu masalahnya..."
"Bukankah fungsi topi untuk meutupi kepala Tuan, selain untuk alasan mode pula?" Sang rakyat semakin tenang. Ia mendapatkan sebuah kekuatan dari keimanannya.
"Saya memberi tips pada Anda agar memperlihatkan sedikit telinga dan rambut...maka itu akan lebih membuat Anda terlihat menarik!" terdengar jelas ada penekanan pada nada bicaranya.
Sang rakyat menarik nafas panjang, "Baiklah, saya akan pertimbangkan tips Anda, Tuan. Terima kasih atas perhatian Anda!" jawabnya cerdas.
Keesokan harinya mereka berpapasan lagi dan betapa geramnya sang penguasa ketika mendapati si rakyat masih mengenakan topi dengan gaya yang sama, meskipun warnanya berbeda. Ia pun kembali uring-uringan dan mencari jalan agar si rakyat mencopot topinya. Maka dipanggilnya lagi sang rakyat menghadap.
"Ini masih masalah topi Anda.." ujarnya secara to the point membuka pembicaraan.
"Ya Tuan, mengapa rupanya dengan topi saya?"
"Anda tak boleh memakainya lagi...saya minta Anda memperlihatkan wajah Anda sepenuhnya!" kali ini tak ada nada kompromi.
"Tuanku, Anda dan semua orang masih dapat melihat wajah saya. Hanya kepala yang saya tutupi dengan topi. Setiap orang boleh memakainya...mengapa saya tidak?"
Sang penguasa geram, "Karena topi Anda adalah simbol politik. Ia mengundang keresahan di sini!"
"Bagaimana mungkin Tuan, ini adalah topi biasa, sama denagn yang dipakai orang banyak. Ini pelindung kepala dan bagi sebagian besar orang ini adalah perangkat mode. Sebuah topi tak akan mengundang keresahan, atau mungkin diri tuan sendirilah yang resah?" debat si rakyat.
"Tolong jangan mendebat lagi, alasan Anda memakainyalah yang membuatnya menjadi simbol politik...buka bentuk atau pun warna topi Anda!" Sang penguasa kini tak main-main.
"Baik kalau begitu, saya akan membukanya...tetapi tidak hari ini!" setelah itu sang rakyat berlalu dengan tetap tegar.
Malamnya, dalam sebuah dialog dengan Tuhan, sang rakyat memohon ampunan atas ketidakberdayaannya menolak hukum dunia yang picik. Itulah manusia, selalu mencari alasan bagi pembenaran kebatilan yang mereka lakukan. Biarlah mereka tertawa di muka bumi hingga gelegar tawanya menjerembabkan mereka ke dalam perut bumi yang panas, jauh...jauh...hingga ke dasarnya. Laa ilaa ha illallah...sesungguhnya kebenaran itu hanya milik Allah, SWT., maka berimanlah kepadaNya.
Subscribe to:
Posts (Atom)