Sunday, January 31, 2010
Tokek
Di rumah kami ada seekor tokek yang setiap malam bersenandung "Tokek, tokek, tokek..." dengan semangatnya. Sepengamatan saya, sudah sekitar 3 bulan terakhir ini dia menemani malam-malam kami. Suaranya pun makin besar dan lantang dari minggu ke minggu. Perkembangan tubuhnya tak terpantau, karena ia jarang menampakkan diri, hanya keunikan suaranya saja yang selalu terdengar. Sekitar dua bulan yang lalu, saya sempat melihatnya tengah mengamati laron-laron yang berseliweran di dekat lampu, sambil berharap ada seekor yang bertengger di dinding tempat ia berpijak, agar dapat dijadikannya santap malam bergizi. Ternyata ia masih tokek belia, seukuran kakeknya cicak. Selama ini cicak-cicak memang mendominasi rumah kami. Mereka beranak-pinak dan tumbuh dewasa hingga uzur bersama kami selama hampir 2 tahun ini. Pernah saya melihat anak cicak yang masih sangat imut-imut, seukuran jari kelingking bayi manusia yang baru saja dilahirkan. Anak cicak itu sepertinya tengah mencoba-coba bermain sendirian jauh dari ibunya, lalu tergelincir di bak cuci piring dan tak bisa keluar lagi dari situ. Ia terjebak dan panik. Setiap berhasil memanjat setapak dinding bak, maka dua tapak ia tergelincir kembali ke dasar. Saya berkata padanya, "Ayo Nak, kamu coba naik sendiri!" Cicak pemberani itu mencoba terus, lalu saya tinggalkan dia dalam perjuangannya. Beberapa waktu kemudian saya kembali untuk melihatnya, ternyata ia sudah tak ada di sana. Entah ia berhasil atau keburu dimangsa tokek...tapi apakah tokek memangsa cicak? Setahu saya buayalah yang suka memangsa cicak...
Semoga saja ia berhasil selamat kembali kepada ibunya dan dapat tumbuh besar di rumah ini bersama kedua anak lelaki saya, amin.
Saya ingat dulu waktu kecil, di rumah orangtua kami, tidak cuma seekor, tapi ada sekitar 2 atau 3 tokek yang setiap malam bersahut-sahutan dari beberapa penjuru. Kami tak ingat lagi kapan terakhir kawanan tokek itu menyemaraki rumah dengan parade suara khas mereka, yang jelas sekarang tak pernah ada seekor pun yang bersuara. Dulu mereka bahkan berani turun ke lantai untuk memperlihatkan perkembangan tubuh mereka yang semakin hari semakin besar, mendekati bayi buaya (agak berlebihan memang, tapi kurang lebih mendekati ukuran tersebut).
Ke mana kiranya mereka berhijrah dulu? Bila kedua atau ketiganya sudah punah, maka ke mana larinya keturunan-keturunan mereka? Apa mungkin mereka tak sempat bereproduksi? Oh...bisa jadi kesemuanya betina saja atau jantan saja. Kasihan bila punah begitu saja tanpa meninggalkan keturunan, seperti cicak-cicak di rumah kami kini.
Saya sendiri penasaran mengapa tokek itu memilih rumah kami sebagai tempat ia bernaung. Katanya sih tokek itu membawa rezeki, maka banyak yang menyarankan untuk memeliharanya. Selain itu, katanya juga, kita harus menghitung bunyinya bersamaan dengan dua kata bermakna kontras: "kaya...miskin...kaya...miskin..." dan berhenti bersamaan dengan berakhirnya pekik sang tokek. Sayangnya saya bukan orang yang berani berspekulasi...ia baik kalau pas berhenti pada kata 'kaya', tapi kalau sebaliknya...bisa-bisa stress memikirkannya. Lagi pula kok iseng betul ya percaya tokek...seharusnya percaya diri saja, dan yang terpenting percaya bahwa takdir Tuhanlah yang terbaik.
Speaking of tokek, kok seperti kebetulan ya, karena kami sekeluarga bersekolah dan bekerja di sekolah Jerman Jakarta, yang maskotnya menggunakan gambar 'tokek'! Saya pernah bertanya mengapa tokek, bukannya buaya, atau komodo sekalian yang dipilih? Tak ada jawaban yang spesifik, alasannya biasa-biasa saja: tokek itu binatang yang khas Indonesia, that's it! Jelas saya kurang puas, bukankah komodo lebih khas Indonesia? tapi untuk apa kita ambil pusing, toh tokek juga tak acuh bila dirinya dipakai sebagai simbol apa pun. Bagi tokek, ia hidup sesuai dengan fitrahnya sebagai binatang melata, masalah orang memberinya berbagai label atau bahkan memburunya hingga harga jutaan, ia tak ambil pusing. Live is complicated, so don't make it even worse...just grin and bare it with joy and peace, "tokek...tokek...tokek...!"
Hebat si tokek...kita seharusnya belajar dari dia untuk lebih menghargai dan menikmati hidup ini!
Saturday, January 30, 2010
Arai dan Zakia
Sudah membaca buku Sang Pemimpi belum, atau menonton filmnya? Di dalam sekuel buku/film Laskar Pelangi ini terdapat tokoh Arai, seorang anak yatim piatu, sepupu Ikal sang pemeran utama keseluruhan cerita. Meskipun yatim piatu, Arai tak lantas tumbuh menjadi seorang lelaki melankolis, malahan sebaliknya ia adalah seorang yang berhati besar, suka menolong, dan selalu mempunyai solusi positif bagi segala permasalahan, sepelik apa pun. Ini luar biasa!
Dikisahkan bahwa Arai memendam cinta mendalam terhadap Zakia, gadis cantik teman sekelasnya. Namun sayangnya, cinta Arai bertepuk sebelah tangan, karena Zakia selalu menampakkkan sikap cuek bahkan judes terhadanpnya. Namun bukan Arai namanya kalau lantas patah semangat. Ia tak kenal menyerah, segala cara -tentunya yang positif- ia lakukan demi mendapatkan minimal perhatian dulu dari sang gadis pujaan. Maka ia pun berguru pada seorang pentolan orkes Melayu yang terkenal pandai menaklukkan hati wanita. Arai pun belajar berdendang sambil memainkan gitar. Meskipun awalnya tak cukup bekal Arai untuk menjadi penyanyi, namun toh ia akhirnya mampu juga menguasai satu lagu, sebagai senjata pamungkasnya menaklukkan hati Zakia. Apakah cinta Arai akhirnya tak bertepuk sebelah tangan? Yang jelas Zakia diam-diam melepas kepergian Arai ke Jakarta, dari tepian hutan bakau yang cukup tersembunyi. Apakah itu sebuah tanda penemrimaan sang gadis pujaan terhadap pria pendamba setianya? Masih dibiarkan menggantung di akhir cerita dan akan kita ketahui kelanjutannya pada Buku ketiga, Edensor...atau pada film ketiganya?
Kisah Arai dan Zakia adalah kisah nyata yang berhasil dituangkan oleh Andrea Hirata atau Ikal, sang penulis, ke dalam buku fenomenalnya tetralogi Laskar Pelangi. Rasanya memang tak berlebihan bila Ikal mengangkat kisah cinta Arai yang penuh perjuangan itu, karena saya sendiri terkesan melihat perjuangan cinta yang tak kenal lelah seperti itu. Ada seorang pemuda belia yang identik dengan Arai, sebutlah namanya Rama, yang kini tengah dalam penantian cintanya terhadap seorang gadis belia, sebutlah ia Shinta. Rama punya sebuah prinsip bahwa cinta adalah sebuah misteri yang hanya akan dapat dipecahkan oleh waktu. Sementara Shinta belum sepenuhnya mengerti apa arti cinta sejati. Bagi Shinta cinta adalah sesuatu yang masih abstrak, maka ia lebih senang dengan hal konkret, seperti bentuk fisik.
Rama adalah sosok pemuda belia cerdas- sangat terlihat dari quote dan lontaran jokenya yang berkelas tinggi untuk pemuda seusianya-, santun, bersahaja, tipe pria penyabar dan setia, cukup ganteng namun tak terlalu modis. Bila Shinta cukup dewasa dan sudah mengerti makna cinta dan kesetiaan, maka saya yakin penampilan fisik menjadi hal kedua baginya dalam melihat Rama. Namun mungkin ada baiknya juga bila Rama sedikit mengoreksi penampilannya yang seharusnya bisa lebih membuatnya tampak segar, misalnya mengubah potongan rambut. Toh mengoreksi penampilan bukan berarti mengubah kepribadian, tapi justru untuk menunjangnya. Bukankah hal itu juga dilakukan Arai, dengan mulai mencoba bermain gitar, mengenakan pakaian yang rapi, dan berusaha untuk tampil lebih menarik demi mendapat perhatian dari Zakia?
Akankah cinta Rama bersambut? Kita lihat saja nanti, yang jelas segala panantian dan usaha akan berbuah hal yang manis. Namun harus diingat juga bahwa segala penantian pasti ada batasnya. Maka berhati-hatilah Shinta, ketika Rama memutuskan untuk mengakhiri penantiannya, bukan tidak mungkin kau baru menyadari arti cinta yang sesungguhnya. Yang jelas mencinta dan dicinta adalah sebuah lakon hidup yang dijalani setiap manusia. Bila kita bertanya, lebih baik mencintai atau dicintai, maka sama saja dengan mencari tahu 'lebih dulu ayam atau telur ada di dunia ini'. Mencintai dan dicintai adalah sebuah pekerjaan respirok, saling berbalasan, karena bila tidak demikian...jangan harap ia akan seimbang dan saling menunjang.
Nah, pesan bijak saya bagi para 'Arai-Zakia'-ers atau 'Rama-Shinta'-ers, jangan pernah putus asa, terus berikhtiar, namun tetap logis untuk menentukan apakah perjuangan ini harus diteruskan atau diakhiri. Bagaimanapun jua kita harus ingat bahwa jodoh adalah kuasa Allah, SWT. sehingga bila hati kita mengatakan 'ini dia orangnya', maka yakinlah kau akan dipertemukan dengannya, oleh-NYa. Listen to your heart and don't ever let love disappear from you...just believe that love will find the way. Hmmm quote yang lumayan, meskipun terinspirasi dari penggalan teks 3 buah lagu yang berbeda...itulah kalau sudah jodoh, cocok dan saling menunjang!
Thursday, January 28, 2010
My Confession to You, Sahabat Hatiku...
Sahabat hati adalah orang yang eksistensinya selalu ada di hati meskipun fisiknya tak harus selalu muncul di hadapan kita. Mungkin ini semacam sebuah seleksi alam yang tak pernah kita sadari prosesnya. Seingat saya, ada tiga orang yang benar-benar saya beri cap sebagai sahabat, entah mengapa hati sayalah yang secara otomatis memberi label itu kepada ketiganya. Secara aklamasi kami tak pernah mengikrarkan persahabatan kami, namun sepertinya ada rasa TST (tahu sama tahu) di antara saya dan ketiganya. Hingga sekarang pun saya tak ragu menganggap mereka tetap sahabat-sahabat terbaik saya dan mudah-mudahan demikian sebaliknya, Insyaallah.
Sahabat pertama adalah Rina Wantari. Kami betul-betul berteman dekat ketika di kelas 2 SD. Ada kecocokan yang saya rasakan dengan dirinya. Waktu itu, ia adalah seorang anak perempuan kalem, tak begitu menonjol, tapi mempunyai karakter yang kuat. Rina tak banyak bicara, tapi ia akan sangat kreatif apabila mulai mengerjakan prakarya. Ide-ide kreatifnya luar biasa dan yang paling saya kagumi adalah ketelatenannya memperhatikan detail-detail objek prakarya. Saya ingat dulu dia pernah membantu membuatkan saya prakarya setting ruangan dalam rumah dilengkapi ruang tamu lengkap dengan sofa dari kotak korek api yang dibungkusnya demikian indah.
Persahabatan kami sangat sederhana. Tak jarang saya main ke rumah Rina-yang ternyata seperti istana, sangat kontras dengan kesederhanaan yang ditampilkannya- sepulang sekolah, meskipun jaraknya jauh dari rumah saya. Dia tinggal di beberapa rumah di kawasan elite Jakarta: Menteng, Sriwijaya, dan Permata Hijau, yang kesemuanya cukup jauh (apalagi pada saat itu) dari rumah saya yang di daerah Ciputat. Meskipun berlatar belakang demikian, Rina adalah sosok pribadi yang sangat bersahaja, tak suka pamer, dan selalu tampil apa adanya. Persahabatan kami mengalir begitu saja tanpa ada paksaan untuk tetap bersahabat selama-lamanya. Dan di tengah-tengah perjalanan pertemanan kami itu, pada saat kelas 4, muncul tokoh ketiga yang bernama Susi Rianti di antara kami.
Susi Rianti adalah orang kedua yang diberi label 'sahabat' oleh hati saya. Entah stempel itu melekat begitu saja tanpa saya meminta persetujuannya atau sebaliknya. Seperti Rina, Susi termasuk anak yang kalem, sederhana, pintar, dan punya karakter yang kuat. Rina dan saya merasa cocok berteman dengannya. Maka jadilah kami bertiga berteman, sampai pada suatu hari ketika kami kelas 6, tiba-tiba Rina menghilang. Ia tak masuk sekolah dan tak berkirim kabar. Ketika saya telepon, ternyata orangtuanya mengikutkannya dalam program akselerasi di sekolah lain, maka ia pun pindah sekolah dan loncat kelas. Sedih rasanya, karena ia meninggalkan kami begitu mendadak. Beberapa hari kemudian, supir keluarga Rina mengantarkan ke rumah sebuah kiriman "patung penari bali" untuk saya. Itu adalah kenang-kenangan darinya.
Saya dan Susi tetap melanjutkan sekolah bahkan kuliah di tempat yang sama. Nah ketika SMA, kami berdua sempat tergabung dalam sebuah geng bermain dengan teman-teman yang lain. Namanya The Keches...wah jadul ya namanya;-) Kami beranggotakan 7 orang cewek-yang mengklaim diri sendiri keren dan cantik- dan berteman sangat akrab. Mereka adalah "teman-teman baik" saya, demikian hati ini memberikan lebel. Apakah karena kehadirannya yang langsung 5 orang dalam satu waktu ditambah karakter yang sangat heterogen, membuat hati saya kebingungan untuk menyeleksi mana yang benar-benar sahabat? Entahlah, yang jelas mungkin ini ada kaitannya juga dengan unsur-unsur kimia dan kesamaan-kesamaan pengalaman yang jiwa saya alami dengan Rina dan Susi sehingga pelebelan itu tak bisa disamaratakan. Yang jelas saya sangat menikmati kebersamaan dengan kelima teman baik saya itu, dan hingga kini kami tetap sangat berteman baik dan menjaga silaturahmi.
Lantas siapakah sahabat saya yang ketiga? Namanya adalah Yulian Setiawani Thohir, dipanggil Uli. Saya mulai berteman sangat dekat dengannya di kelas 1 SMA. Ini unik sekali, karena Uli bukan sahabat Susi, meskipun kami bersekolah di sekolah yang sama. Ada waktu-waktu di mana saya bermain dengan Susi dan dengan Uli. Hmmm...saya juga jadi bingung sendiri, tapi saya memang menjalani bentuk persahabatan yang unik itu. Itulah yang saya katakan, meskipun bersahabat, antara saya, Rina, Susi, dan Uli tak ada kesepakatan apakah kami bersahabat dan tak pernah pula ada pembatasan dengan siapa kami boleh berteman, atau sahabat saya juga harus jadi sahabat mereka. Semuanya begitu alami, mengalir, dan bermakna bagi saya. Bahkan dulu ketika kuliah, kebetulan saya dan Susi satu kampus, sahabat saya itu pernah keheranan mengapa saya bisa berteman dengan seseorang yang dia anggap sangat aneh. Dan ketika saya mengajak orang aneh itu ikut nonton dengan kami, Susi pun tak keberatan, tapi tetap ia teguh pada penilaiannya tentang teman saya itu..ha..ha...
Lama saya dan Susi kehilangan kontak dengan Rina selepas masa SMA. Ternyata dia kuliah di Australia dan kehilangan nomor telepon serta alamat kami. Zaman itu belum ada FB yang sangat membantu seperti sekarang ini. Suatu ketika saya bertemu dengan kakak Rina, dan dari dialah saya kemudian bisa menjalin kembali komunikasi dengan Rina. Alhamdulillah saat Rina menikah saya bisa menemani dia dan begitu juga saat saya menikah Rina sempat hadir dalam kondisi mengandung anak pertama. Sayangnya saya dan Susi tak sempat saling menyaksikan pernikahan kami, karena kebetulan ketika dia menikah saya tinggal di Hannover, dan sebaliknya Susi tengah tugas di Kotabumi saat saya menikah. Sementara itu saya tak sempat menyaksikan pernikahan Uli padahal dia hadir di pernikahan saya...
Sekarang Rina hidup bahagia dan dikaruniai tiga anak yang sehat dan membanggakan. Ia menikah dengan Lestyo 'Sas' Sasono, seorang pria Jawa santun yang amat mencintainya. Rina mencintai dan menghormati suaminya sedalam Sas memujanya dengan segenap jiwa dan raga. Saya sangat bahagia melihat keindahan cinta mereka dan selalu berdoa semoga cinta kasih keduanya selalu terpelihara hingga akhir hayat. Meskipun kini mereka menetap di Kinabalu, hubungan silaturahmi kami tetap terjaga, dan tulisan ini saya langsung tuangkan setelah membaca puisi-puisi Rina yang sangat indah dan inspiratif. Ternyata sahabat juga adalah orang yang bisa memberi inspirasi dan membuat kita produktif!
Susi Rianti menikah dengan Tony, pria tampan asal Lampung, dan dikaruniai 2 gadis cilik cantik. Tony bahkan memanggil suami saya Abang, sebuah bentuk kekeluargaan yang ditawarkan dengan tulus olehnya. Susi dan saya masih terus berkomunikasi lewat SMS, Telepon, FB, dan sesekali bila ada waktu bertemu. Satu hal yang selalu Susi lakukan saat ini adalah menginformasikan saya setiap even yang dibicarakan dalam grup BB teman-teman perempuan semasa SMA dulu, berhubung saya tak punya piranti Blackbarry... Saya menilainya sebagai 'extra effort' Susi bagi seorang sahabat yang selalu ia ingat. Persahabatan saya dan dia ya seperti itu, ada dalam ketiadaan..he..he...bukan begitu Jeng Ui???
Uli, tinggal di Sawangan sekarang, di rumah desain Balinya yang cantik. Menikah dengan Ben, pria Batak berkarakter keras namun berhati lembut, teman semasa kuliah dulu, di kampus yang sama pula dengan saya, dan sedang menunggu kehadiran buah hati, Insyaallah segera diberikan oleh Allah Li. Allah selalu tahu waktu yang tepat Li, Ben, percaya itu...yang penting terus berikhtiar. Kontak dengan Uli tetap terjaga, meskipun kebanyakan di dunia maya. Bukankah persahabatn kita juga selalu ada dalam ketiadaan Li...ingat dulu kita sering pulang jalan kaki dari sekolah ke terminal Blok M, supaya uang ongkosnya bisa kita jajanin :-) Uli...masa-masa itulah yang membuat saya selalu menganggap kamu sahabat dalam suka dan duka.
Rasanya tidak pernah cukup kata-kata ini untuk menggambarkan sahabat-sahabat terbaik saya itu. Mudah-mudahan saya tak bertepuk sebelah tangan, karena memang kami tak pernah berikrar menjadi sahabat atau bersepakat bahwa kami bersahabat...hati sayalah yang berikrar bahwa merekalah sahabat saya. Tanpa mengesampingkan kehadiran, makna, dan kebahagiaan yang saya juga rasakan bersama teman-teman baik yang lainnya, saya mengucapkan terima kasih kepada Rina, Susi, dan Uli karena telah memberikan cakrawala tersendiri dalam menjalani hidup ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi semua sahabat dan teman-teman kita, Amin.
'Cap'?, 'Hat?', whatever! ...Hey it's my New Look!
"Pede aja lagi...!" begitu ujar suami saya, Tengku Zainil Isman, yang memang punya kepercayaan diri yang luar biasa.
Sementara saya masih bolak-balik menukar topi-topi sisa "fashion items" ketika tinggal di Jerman dulu. Yah...kalau di Jerman atau di negara2 Eropa, Amerika, Australia, Korea, dan Jepang, memakai topi bagi perempuan adalah hal yang biasa, bahkan menjadi bagian dari pelengkap penampilan. Jenis bahan dan desain topi pun disesuaikan dengan musim yang berlaku. Tapi di sini, di Indonesia, topi masih jadi milik kaum lelaki. Memang ada juga perempuan yang memakai topi, tapi hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu, itu pun sebagian besar artis. Nah ini problemnya...saya mau mencoba sesuatu yang tak jamak dilakukan di lingkungan saya, bahkan oleh para expatriat sekalipun: memakai topi ke kantor!
Maka betul apa kata suami saya, bahwa jika kita PeDe, maka energi positif itu akan menular kepada semua orang di sekitar kita. Pada hari pertama, beberapa murid tercengang melihat Bu Suse bertopi, bahkan beberapa di antaranya tak kuasa menyembunyikan tawa geli mereka. Salah seorang murid yang paling cerewet malah bertanya, "Ibu lagi bad hair day ya?"
Saya kemudian justru mengolok-olik diri saya sendiri di hadapan mereka (biasanya trik ini selalu berhasil), "Cantik kan saya hari ini...atau lebih mirip seperti Mbah Surip?" maka lepaslah tawa mereka dan pujian serta saran pun justru berdatangan dari jiwa-jiwa belia yang kreatif itu.
Memang sulit memulai sebuah hal baru yang tak lazim berlaku di lingkungan kita, apalagi bila belum apa-apa kita sudah membayangkan respon negatif dari orang-orang...meminjam istilah gaul sekarang udah "parno" duluan! Kuncinya memang kepercayaan diri dan niat untuk membuat sebuah inovasi bagi diri sendiri. Syukur-syukur kalau akhirnya bisa jadi trend setter...nah kalau yang ini "narsis" istilah gaulnya ;-) Yang jelas, sampai saat ini penerimaan lingkungan sudah mulai terasa oleh saya. Mereka sepertinya telah mempunyai satu image baru bagi diri saya, "topi" adalah Bu Suse! Alhamdulillah...
Satu motto yang memang harus saya pegang sekarang adalah "Pede aja...mau pakai cap atau hat...whatever, it's my New Look...and I love it!"
Tuesday, January 12, 2010
Resolusi Tahun Baru
Tahun baru Muharram dan Masehi telah kita masuki hampir satu bulan, namun rasanya belum banyak hal baru yang saya lakukan sebagai bentuk transformasi perbaikan diri. Maka dari 2 minggu terakhir ini saya tengah mengalami dilema batin yang cukup memusingkan. Namun setelah saya renungkan lagi, sebenarnya masalah yang saya hadapi in ternyata tak sulit untuk dipecahkan. Kuncinya adalah keberanian dan peningkatan kualitas keimanan saja! Ha..ha..yang belakangan itu yang membuat berat: peningkatan kualitas iman. Bagaimana ya...bisa tidak?
Kadar keimanan seseorang memang hanya bisa diukur oleh Allah, S.W.T. Namun tentunya sebagai mahluknya kita harus berusaha untuk bisa memberikan yang terbaik bagi Sang Khalik, sebagaimana yang telah Dia lakukan kepada kita, tanpa pandang bulu. Maka marilah kita kuatkan niat untuk meningkatkan keimanan kita pada Allah semata. Insyaallah teman, bila ada kemauan, maka di situ pasti akan ada jalan yang terbaik bagi permasalahan kita.
So, saya sudah bulat (mudah-mudahan untuk seterusnya) untuk mengajak diri saya sediriberani mengikuti tuntunan hati kita ke arah yang lebih baik. Ingat, iman itu adalah persoalan hati nurani. Kalau hanya akal yang digunakan, maka akan banyak pertimbangan duniawi yang niscaya mengurungkan niat baik kita untuk meningkatkan keimanan terhadap Allah, S.W.T.
Ya Raab, ringankanlah langkah kami untuk menggapai rahmatMu yang begitu besar dan berserak di muka bumi ini, namun tak semuanya dapat terlihat oleh hati nurani kami yang masih berselimut kabut keraguan. Singkirkanlah kabut penyelimut hati ini dan gantikanlah ia dengan nur terangMu, hingga kami dapat melihat segala rahmat yang telah Kau tunjukkan bagi orang-orang yang beriman.
Bismillahirrahmaanirrahim, Insayaallah Allah selalu bersama orang-orang yang beriman kepadaNYa. Amin YRA.
Kadar keimanan seseorang memang hanya bisa diukur oleh Allah, S.W.T. Namun tentunya sebagai mahluknya kita harus berusaha untuk bisa memberikan yang terbaik bagi Sang Khalik, sebagaimana yang telah Dia lakukan kepada kita, tanpa pandang bulu. Maka marilah kita kuatkan niat untuk meningkatkan keimanan kita pada Allah semata. Insyaallah teman, bila ada kemauan, maka di situ pasti akan ada jalan yang terbaik bagi permasalahan kita.
So, saya sudah bulat (mudah-mudahan untuk seterusnya) untuk mengajak diri saya sediriberani mengikuti tuntunan hati kita ke arah yang lebih baik. Ingat, iman itu adalah persoalan hati nurani. Kalau hanya akal yang digunakan, maka akan banyak pertimbangan duniawi yang niscaya mengurungkan niat baik kita untuk meningkatkan keimanan terhadap Allah, S.W.T.
Ya Raab, ringankanlah langkah kami untuk menggapai rahmatMu yang begitu besar dan berserak di muka bumi ini, namun tak semuanya dapat terlihat oleh hati nurani kami yang masih berselimut kabut keraguan. Singkirkanlah kabut penyelimut hati ini dan gantikanlah ia dengan nur terangMu, hingga kami dapat melihat segala rahmat yang telah Kau tunjukkan bagi orang-orang yang beriman.
Bismillahirrahmaanirrahim, Insayaallah Allah selalu bersama orang-orang yang beriman kepadaNYa. Amin YRA.
Subscribe to:
Posts (Atom)